Kenapa Menulis?

Oleh : Fransisca Marchella


Aku yang dulu selalu berkata, "Nulis susah banget, kata-kata ku gak pas." atau "Memang masih zaman nulis-nulis, ngapain juga sih?" Akhirnya ombak samudra kehidupan mampu menyeretku ke dunia tulis menulis. Aku rangkumkan alasan masih bertahan untuk menulis. 


1. Dari aku, oleh aku, untuk aku

Sejujurnya, waktu belum cinta menulis beranggapan bahwa cerita harus dengan orang dan aneh jika ditulis. Maklum saja, dulu masih didekatkan banyak telinga oleh sang waktu. Namun, kini ditampar kenyataan bahwa hidup tentang datang dan pergi. Sang waktu sudah tidak merestui jika frekuensinya seperti dulu. Mereka juga punya jalannya masing-masing. Kini, dengan kekuatan sendiri harus bisa memeluk diri sendiri. Bukan perkara mudah untuk melakukannya. Hingga akhirnya memeluk diri sendiri dengan tulisan. Kalimat penenang dari aku, untuk aku, oleh aku. 


2. Pendengar yang baik 

Seperti kebanyakan orang mengatakan, menulis bisa menciptakan sahabat. Alasan awal menulis adalah ada telinga yang mau aamendengar. Mendengar semua yang bersembunyi di dalam diri. Ketika bersama orang lain harus menyiapkan topeng senyuman lebar. Dengan menulis topeng itu lepas dan jadi manusia jujur untuk diri sendiri. Belum lagi jika ceritaku sulit diterima manusia lain. Tanggapan mereka tentang cerita ku malah tidak menciptakan kelegaan seperti yang diharap. Sebenarnya hanya butuh telinga yang siap mendengar. Ah, bukan jadi masalah. Dunia bukan tentang aku saja. Mungkin mereka yang sebenarnya butuh telinga dan belum bertemu titik nyaman dalam menulis. 


3. Wadah yang aman

Sebagai manusia yang sedang tumbuh dan berkembang tentunya butuh wadah untuk berkeluh kesah. Tidak hanya berkeluh kesah tetapi juga mewadahi emosi yang masih labil. Bagi sebagian orang mungkin mereka punya seseorang yang bisa diandalkan. Tidak mau merepotkan orang lain sehingga lebih milih untuk memendam. Bercerita dengan manusia lain secukupnya saja atau jika sudah berlalu baru aku ceritakan. Namun, tetap saja perlu wadah untuk melegakan batin. Dengan menulis, aku berani untuk menuangkan emosi. Semua yang dianggap berat ku bebankan ke bolpen. Tanpa mendengar "gitu aja kok baper." 


4. Semangat aku 

Jatuh, itu hal biasa katanya. Bisa berkata begitu ya karena sudah melewatinya. Ketika masih bergelut dengan kegagalan tentu merasa sulit. Merasa diri tidak berguna dan tidak pantas. Ketika semua orang menganggapku sampah. Aku ini bukan apa-apa kata mereka. Semakin lama yang dulu jadi penyemangat sudah berjalan sendiri-sendiri. Mulai merasa sendiri dan sadar bahwa tidak bisa percaya dengan manusia. Yang ada malah kecewa. Masih ada satu penyemangat yang tak akan berhenti. Ya, tentu saja diri sendiri. Membuat kata semangat dengan menulis. Berusaha terus menulis ketika diri mulai jatuh.  Menggendong diri sendiri dengan kalimat semangat. 


5. Rehat dari realita kehidupan 

Realita kehidupan tentu berbeda dengan ekspetasi kepala kita. Lelah dan kecewa  berdiri gagah di pundak. Perlu untuk sejenak lepas dari realita kehidupan. Membuat dunia sendiri salah satu caranya. Senang ketika kepala bermain-main dengan imajinasi. Untuk membuat duniaku perlu adanya lahan. Kemana lagi kalau tidak dituang ke tulisan. Jika tidak cepat dituangkan akan menghilang begitu saja. Seperti sedang merebus air, kalau mendidih segera mematikan kompor jika tidak akan habis airnya. Memang terlihat seperti anak kecil, membayangkan hal-hal di luar nalar. Selagi imajinasi belum dilarang, akan ku manfaatkan waktu sejenak. Ketika imajinasi sedang berjalan, buku dan pena seperti memanggilku untuk siap berperang. 


6. Menciptakan sudut pandang 

Otak memang ajaib, pekerjaannya tidak pernah terduga. Aku suka ketika orang mempunyai presepsi berbeda dari yang lain. Bagi kebanyakan orang beda itu belum bisa diterima. Setiap orang mempunyai cara tersendiri dalam melihat sesuatu. Orang lain mikir A, otakku suka berbelok jadi B.  Perlahan otakku terbuka untuk menciptakan presepsi ku sendiri. Menulis jadi sarana untuk menuangkannya. Otak yang mulai menyelam semakin dalam. Tangan yang semakin lincah menari diatas kertas. Semakin banyak pertanyaan "gimana kalau...." yang bermacam bentuknya. Bahkan kalau orang lain tau pasti ditertawakan. Semakin banyak menulis, sudut pandang semakin tidak bersudut. 


7. Ingin menulis bukan jadi penulis 

Saat SMP, menganggap menulis adalah pekerjaan rumit. Bertanya dalam hati, "Kenapa orang bisa menulis?" Padahal, menulis ya tinggal menulis. Semua siswa ikut lomba cerpen waktu SMP tidak terduga aku juara 1. Terkejut mendengarnya, merasa tidak bakat menulis. Teringat di bangku SD ingin jadi penulis. Masa SD diwarnai dengan buku KKPK tentunya ingin jadi salah satunya. Sampai waktu memertemukan dengan dunia tulis lagi. Iseng, karena perasaan sedang terombang-ambing. Hingga satu persatu teman memberi apresiasi. Sungguh, satu apresiasi dan semangat dari mereka sungguh berarti. Hasrat untuk berkarya semakin tinggi. Aku berkarya bukan karena ingin jadi penulis tetapi ingin menulis.


8. Refleksi aksi 

Kemarin, aku sebut hari berat. Namun, kemarin lusa lebih berat. Hari ini banyak baiknya kurasa. Mungkin esok berat lagi atau lebih baik. Kalau kata orang-orang, "Namanya juga hidup, pasti jatuh bangun." Sayang, kalau satu hari dalam hidup kita dilewati begitu saja. Demi memperbaiki diri perlu adanya koreksi. Dengan menulis, menelaah dari bangun sampai mau tidur. Hal apa saja yang patut disyukuri? Apa saja yang sudah didapat hari ini? Perbuatan hari ini apakah sudah baik? Niat apa yang ingin dicapai untuk hari esok? Sekalian biar gak lupa kalau hari ini sudah bahagia. 


9.  Memeluk kalian

Pernah satu ketika iseng buka Q and A di story instagram. Pertanyaannya begini, "Kalian pengen apa?" Awalnya hanya satu atau dua yang menjawab. Semenjak menjawab pertanyaan "Pengen ketemu, pengen cerita." Tiba-tiba pertanyaan masuk mulai beragam. Tak kusangka muncul apresiasi. Aku bahagia ketika mereka mengatakan tulisanku bisa mewakili hati mereka. Memeluk dengan tulisan sehingga merasa berguna untuk orang lain. Melihat mereka bahagia, aku juga ikut bahagia. Walau, tidak semua orang senang kepadaku juga tulisan ku. Aku berusaha untuk tidak pernah memikirkannya. Hanya butuh orang-orang yang ada ketika berproses. Ya, sekarang aku masih berproses. 


10. Melepas ikatan 

Ketika batin sulit untuk dikontrol juga pikiran yang lari kesana kemari. Realita kehidupan yang menyesakkan diri. Melangkahkan kaki saja rasanya enggan. Bukan karena malas tapi tak ingin. Bingung harus melakukan apa. Butuh penenang yang percaya penuh kepadaku. Tentu orang itu adalah aku sendiri. Untuk melepas ikatan yang menyiksa ini aku pilih dengan menulis. Layaknya pisau yang menyayat setiap tali yang mengikat. Memberikan ruang untuk diri bernapas dan rehat. Berhenti sejenak dengan realita kehidupan yang keras. Menenangkan diri agar tidak perlu khawatir akan hari esok. Nyatanya masih ada hari ini untuk dijalani. 


Alasan-alasan tersebut yang mendorong ku untuk selalu menulis. Tentu, banyak perubahan dalam diriku setelah cinta menulis. Menulis jadi sarana yang baik untuk berkomunikasi dengan diri sendiri. Sehingga aku lebih menghargai dan mencintai diri sendiri. Semoga kalian yang belum dipertemukan dengan titik nyaman menulis lekas bertemu.

 

Tentang Penulis :

Perkenalkan salah satu kawanan kalian aku Fransisca Marchella Dyah Ayu Cahyaningtyas dan bisa dipersingkat dengan Chella. Pertama kali hadir di bumi tepatnya Selasa Kliwon 9 Maret 2004 di Kabupaten Semarang. Sekarang masih bersekolah di SMA Kolose Loyola Semarang. Hobiku bicara sendiri dan sekarang bisa dituangkan dalam tulisan. 


Share:

1 comment :

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis