Semua Berawal dari Why

Oleh: Rahmawati Istianing Rahayu

 

Mengapa aku harus menulis?

 

1.        Menulis untuk Diriku

Aku menulis untuk diriku.

Aku akan memberitau diriku di masa depan bahwa aku pernah menoreh sebuah kisah. Sebuah kisah yang mungkin akan terlupa karena kapasitas ingatan manusia yang terbatas.

 

Aku menulis untuk diriku.

Aku akan mengabarkan kepada diriku di masa depan bahwa aku pernah melewati sebuah proses. Proses yang (semoga), hasilnya saat itu sudah aku tuai.

 

Aku menulis untuk diriku.

Aku akan menyemangati diriku di masa depan dengan semangat ketulusan. Semangat untuk diriku yang (bisa jadi) saat itu tengah terjatuh.


Aku menulis untuk diriku.

 

2.        Merekam Kisah

Suatu hari disaat senggang melanda, diantara jeda semester paling lama. Tiba-tiba aku tersesat ke timeline lamaku. Kubaca satu persatu postingan beberapa tahun lalu. Tidak menyangka, ternyata ada banyak kisah yang tertoreh. Beberapa momen penting dihidupku awet lewat tulisan.

Keterbatasan memori manusia ternyata nyata. Disisi lain, manusia selalu ingin mengabadikan hal-hal penting dihidupnya. Itulah mengapa menulis penting bagiku, karena aku percaya bahwa tulisan bisa merekam kisah.

 

3.        Visual Learning

Aku adalah salah satu orang yang memiliki tipe belajar visual-kinestetic learning. Alih-alih belajar lewat audio, belajar lewat vidio saja aku sering tertidur.

Selain bisa dilihat secara visual, kegiatan mencatat juga hasil dari kinestetic learning versiku. Aku suka mencatat karena aku suka menulis. Aku menulis karena lewat tulisan aku belajar.

 

4.        Bersyukur

Bersyukur. Salah satu alasanku menulis. Ketika raga masih lengkap secara fisik dan mampu berpikir dengan baik...

Menurutku, bentuk syukur harus dilakukan dengan memanfaatkan kenikmatan tersebut. Salah satunya adalah menggunakan tangan untuk menulis. Setiap goresan yang tercipta, itu adalah bukti bahwa kita dimampukan. Bukti bahwa kita diberi kemampuan oleh Sang Pemilik Raga. Bukti bahwa manusia tugasnya adaah untuk membudidaya kebaikan.

 

5.        Self Healing

Menulis adalah self healing.

Ketika menulis, aku bisa menuang apapun yang aku pikir dan rasa. Sebuah lembar putih pasti bersedia diisi rangkaian huruf apapun. Beda dengan telinga yang bisa menolak.

 

Menulis adalah self healing.

Ketika aku sendiri dalam ramai. Ketika aku sedih dalam rinai. Ketika aku menyerah untuk menggapai. Tulisan adalah teman setiaku.

6.        Perspektif Lintas Ruang dan Waktu

Aku percaya jika benar-salah dan baik-buruk itu sifatnya relatif. Bisa jadi, apa yang kita anggap benar saat ini berbeda dengan beberapa tahun lagi. Bisa jadi, apa yang kita anggap buruk beberapa tahun lalu malah kita lakukan hari ini.

Sifat relatif itu terikat ruang dan waktu. Manusia membutuhkan media untuk bisa melihat nilai relativitas tersebut. Maka dari itu aku akan terus menulis. Dengan menulis, aku bisa melihat berbagai perspektif lintas ruang dan waktu.

 

7.        Membaca, Pasangan Menulis

Seperti makhluk hidup yang tercipta berpasangan, menulis juga memiliki pasangannya, yaitu membaca.

Membaca ialah perintah Tuhan pertama yang ditujukan khusus untuk manusia. Membaca akan mengantar kita menyelami ilmu pengetahuan. Membaca juga menjadi keterampilan wajib yang harus dikuasai setiap orang di abad ini.

Namun, ada hal yang perlu diingat bahwa kapasitas memori manusia itu terbatas, maka dari itu membaca disandingan dengan menulis. Melalui tulisan, ilmu yang diperoleh dari membaca akan terikat. Selamanya.

 

8.        Tercatat Sejarah

Agar tercatat dalam sejarah, bukan hanya foto yang bisa merepresentasikan, namun tulisan juga. Jika ingin sebuah karya abadi, maka menulislah, karena tulisan akan tetap hidup, meski penulisnya sudah tiada.

Aku tidak mau mati sia-sia. Aku ingin hidupku dikenang oleh orang lain, setidaknya oleh anak cucuku kelak di masa depan. Itulah mengapa aku menulis

 

9.        Literasi Indonesia

Pernah mendengar bahwa tingkat literasi Indonesia rendah? Atau pernah membaca ulasan kontra tentang pernyataan itu?

Kedua pernyataan tersebut mempunyai riset dan dasar argumen yang sama-sama kuat. Hanya saja terdapat perbedaan kaca mata yang dipakai oleh si penulis. Terlepas dari itu, ada hal yang perlu digaris bawahi bahwa mau tidak mau tingkat literasi memang mencerminkan kualitas SDM suatu negara.

Inilah alasanku menulis, yang sebenarnya adalah bagian dasar dari makna literasi. Kuharap, tulisanku bisa sedikit berkontribusi untuk memajukan literasi Indonesia.

 

10.    Amal Jariyah

Ini adalah alasan terpenting. Alasan paling basic. Alasan yang menjadi pacuan kuat dikala semangat menulis mulai redup, yaitu untuk memperoleh keridhoan Allah melalui jalan ilmu yang bermanfaat.

Pernah mendengar hadits tentang 3 amalan yang masih terus abadi bahkan ketika si raga sudah meninggal? Ya, salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat.

Mari kita contoh bagaimana cendekiawan muslim seperti Ibnu Sina, Al-Khawaritzmi, Jabir ibn Hayyan, dan yang lainnya dalam mengamalkan ilmu. Sebagian besar ilmu dari beliau semua masih kita gunakan saat ini. Tidak terbayang bagaimana kedudukan mereka di mata Sang Pencipta. Pastilah mendapat tempat terbaik disana.

Sayangnya, saat ini ilmu pengetahuan cenderung dikuasai oleh negara-negara adidaya. Jutaan orang berdatangan di universitas peringkat atas dunia untuk belajar.

Kita sebagai muslim juga jangan mau kalah!!! Kita harus bisa mendapatkan pendidikan yang setara atau bajkan lebih. Mari kita munculkan lebih banyak cendekiawan muslim di era modern. Jangan sampai ada lagi stigma semacam "muslim itu kolot, muslim itu gak pinter, muslim itu susah kuper, muslim itu eksklusif, dan lain sejenisnya"


Jangan...

Bagaimana caranya? Semuanya diawali dengan menulis.


 

Rahmawati Istianing Rahayu. Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir di sebuah universitas di Yogyakarta. Menyukai dunia membaca dan menulis sejak kecil. Tertarik dengan bidang sastra, seni, psikologi, dan sosial.
Share:

3 comments :

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis