Oleh: Puput Maulani Mariam
Tahun 2006. Mendeskripsikan alasan menulis membawaku menelusuri masa yang sudah 14 tahun berlalu. Hari itu adalah pertama kalinya aku mempunyai buku bacaanku sendiri dan pertama kalinya imajinasiku dibuat berkelana dengan bacaan yang sederhana. Keajaiban yang menggelitik itu mendorongku untuk mulai menulis, meski sesederhana tulisan tangan di atas lembaran buku yang aku beli di warung tetangga. Tak banyak diksi memukau, hanya tentang keseharian dan konflik persahabatan ala murid sekolah dasar. Tapi kesahajaan inilah yang membuatku jatuh hati pada aksara. Inilah yang memberiku alasan untuk terus menulis. Karena aku selalu takjub, betapa kata-kata yang tak rumit, mampu membangkitkan emosi yang tak sederhana.
Tahun 2007 saat menapaki usia belasan, aku saksikan kawan-kawan berlomba unjuk kebolehan. Beberapa dari mereka memperdengarkan suaranya yang menawan, sedangkan yang lain memilih bersaing di lomba antar kecamatan. Jiwa remajaku tak bisa sekedar diam menyaksikan. Pikiranku yang masih setengah matang mencoba merenungkan sisi diriku yang mungkin bisa jadi kebanggaan. Gejolak semangatku akhirnya meghasilkan sebuah gagasan. Aku yang saat itu baru 12 tahun menapaki dunia, memberanikan diri mewujudkan kecintaanku pada tulisan dalam sebuah perlombaan. Di tengah spirit kompetisi inilah aku menambah daftar alasanku untuk menulis. Supaya cintaku pada aksara bisa menghasilkan karya, dan meraih prestasi yang akan bisa aku ceritakan di masa depan.
Tahun 2008, orang bilang kenangan indah akan bersemayam lebih lama dalam ingatan. Aku tak akan menyanggahnya, karena yang aku alami memang demikian. Satu dekade sudah berlalu, tapi perasaan yang memukau itu masih terekam sempurna tanpa cela. Meski saat itu aku belum mengenal banyak sastra, tak mungkin aku tak terpesona pada kejeniusan penulis yang berhasil mengisahkan rangkaian peristiwa 1 malam ke dalam 300 halaman, dan kisahnya dialih bahasakan untuk 40 negara di dunia. Membaca mungkin bisa membuat seseorang mengenal semesta, tapi menulis akan membuatnya dikenal dunia. Semangat itulah yang membuatku tetap menulis, agar kelak dunia bisa mengenalku dari banyak karya.
Tahun 2009, jalan berkelok kehidupan remaja sepertinya makin seru saat aku menjajaki SMA. Tak ayal seragam putih abu membuatku merasa menjadi anak dewasa. Tapi, menjadi makhluk sosial membuatku ingin diterima dan didengarkan. Menjadi makhluk emosional membuatku ingin menjalin ikatan. Menemukan orang yang tepat untuk menjadi sandaran dan tempat berbagi keluh kesah menjadi sebuah kebahagiaan. Namun, berurusan dengan perasaan tak pernah lebih sederhana dari perkara hitung-hitungan. Sentimen yang fluktuatif seringkali mendorong makhluk paling sosial ingin sendirian. Karena itu aku merekam banyak emosi dalam tulisan. Selain memberikan kelegaan, menemani saat tak ada kawan, juga menjadi catatan penuh perasaan.
Tahun 2012 saat menapaki bangku kuliah, matematika tak sekedar bicara soal bilangan Fibonacci. Fisika tak hanya berhitung soal gaya sentrifugal. Antena yang selalu hanya aku lihat, berusaha aku pahami. Gelombang mikro yang tak kasat mata, susah payah aku pelajari. Semakin banyak pengetahuan yang baru, semakin jelas ketidak tahuanku. Tapi pendidikan tetap harus dituntaskan, meski dengan merangkak dan berulang kali jatuh bangun. Banyak cara yang aku lakukan demi bisa bertahan, salah satunya dengan menulis. Imam Syafii berkata ilmu itu seperti buruan, yang akan lepas jika tak diikat. Jadi di penghujung usia belasan, aku kembali menemukan alasan menulis untuk mengikat ilmu.
Tahun 2016, 2 tahun terlewati setelah menginjak usia 20, aku mengambil peran menjadi seorang ibu. Terkadang aku merasa telah mengambil tanggungjawab terlalu cepat, tapi aku yakin Allah paling tahu waktu yang tepat. Meski begitu, peran sebagai ibu tak semudah yang dikira. Fase hidup yang berubah terlampau cepat menuntutku terus beradaptasi tanpa jeda. Akibatnya, aku banyak melewati masa dengan rasa tak berdaya, bahkan menyalahkan diri sendiri untuk sesuatu yang di luar kendali. Maka aku menulis untuk mengobati hati. Berdialog dengan diri lewat tulisan yang sarat motivasi, berbekal luasnya ikhlas dan maaf, mensugesti diri dengan afirmasi positif hingga mampu menetralkan yang negatif.
Tahun 2017 saat semua serba daring, mungkin tak berlebihan jika menekuni dunia pengasuhan dikatakan wajib bagi setiap orangtua. Tapi mempelajarinya di usia 22 membuatku merasa kehilangan kawan lama. Dan mempraktikkannya pada bayi sungguhan, sungguh beda perkara. Ada banyak hal yang biasanya lelulasa aku lakukan, tapi harus disesuaikan dengan keadaan sekarang. Perlu waktu yang cukup lama dengan proses yang amat panjang untuk bisa benar-benar menikmati lika-liku perjalanan sebagai ibu. Untuk bisa tuntas menerima keadaan diri, untuk bisa kembali menata tujuan-tujuan hidup dan membangun keluarga. Maka aku menulis sebagai bentuk aktualisasi diriku yang telah menjadi ibu, yang aku rasa paling pas tanpa mengabaikan kepentingan pihak-pihak yang jadi prioritas.
Tahun 2019, saat usiaku mencapai seperempat abad, mungkin belum cukup lama untuk memahami semua rasa dalam hidup. Tapi seperempat abad juga berarti 9000 hari, ratusan ribu jam, ratusan juta detik. Dari banyak detak waktu yang telah dilewati dengan berbagai strategi, ada kisah penuh haru, bahagia, sedih, dan pelajaran hidup yang bisa dibagi. Maka aku menulis untuk memberi suntikan energi pada mereka yang sedang diuji. Aku menulis mengisahkan pengalaman pertarungan hati, supaya mereka tak merasa sendiri. Aku menulis agar mereka meyakini, hari bahagia akan datang di suatu hari. Aku menulis agar mereka tak akan pernah sangsi, janji Allah yang paling pasti.
Tahun 2019 juga, aku yakin ada masa dimana semesta terasa seperti kawan yang paling setia, memberikan seisinya untuk mendukungku mewujudkan cita-cita. Ada juga masa dimana semesta seperti tak bisa bekerja sama, menyisakan jalan buntu kemanapun aku mengembara. Ada saat dimana dunia terasa sangat dermawan, memenuhi semua kebutuhan, mengabulkan segala keinginan, tanpa harus bekerja kelelahan. Ada juga saat dimana dunia terasa sangat berkhianat, saat perjuangan tak berbalas meski sudah memeras keringat. Tapi, sehari lebih lama untuk hidup di dunia tak pernah gagal membahagiakan. Naik dan turunnya jalan kehidupan selalu jadi sejarah yang berkesan. Dan aku merekam setiap bagian dari sejarah itu dalam tulisan.
Tahun 2020, aku menyadari bahwa usia memang hanya didefinisikan angka, tak merepresentasikan kedewasaan manusia. Tapi saat jatah usia makin berkurang, pencapaian dunia tak lagi jadi satu-satunya isi pikiran. Di fase inilah aku mengerti bahwa menulis adalah surga dan neraka. Gagasan yang aku tuangkan dalam tulisan bisa menjadi jalan kebaikan atau bahkan kesesatan. Maka dari semua alasan yang membuatku tetap menulis, barangkali inilah alasanku yang paling tinggi. Meski tak selalu indah, meski tak mungkin semua orang sepaham, meski responnya tak selalu sesuai harapan. Aku tetap menulis untuk memperbanyak saksi. Aku menulis semampuku hingga banyak orang bisa merasakan kebaikan, dan bersedia menjadi saksi untuk amalanku.
Tentang Penulis:
Puput Maulani Mariam, yang biasa disapa Puput. Lahir di Bandung, Bulan September di hari yang ke 18, tahun 1994. Ibu dari 1 balita ini menggunakan 24 jam hari-harinya sebagai seorang istri, ibu, blogger. Sedikit rekam jejak hidupnya dibagikan lewat instagram @putputmm. Cara pandangnya melihat dunia dituliskan di seesiput.blogspot.com.
Hai, Kak terus semangat, ya.
ReplyDeleteYuk, mampir di karyaku.
Perbincangan Aksara.
thank you kak! semangat jugaaa 😘
DeleteBagus Kak, terus semangat berkarya😊
ReplyDeleteMampir juga yu ke tulisan saya☺
aamiiin, semoga bisa tetap semangat menebar kebaikan lewat tulisan 🤗
DeleteThis comment has been removed by the author.
Delete