Kausa Menoreh Kata


Oleh : Edfitri Muflihatusyawal

Aku meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi tentu memiliki alasan atas terjadinya hal tersebut, termasuk menulis. Ketidaksenangan untuk berbicara banyak agaknya menjadi salah satu motif sebagian orang untuk menulis, termasuk aku. Bagiku, banyak mendengarkan adalah jauh lebih baik daripada banyak berbicara.

Menurut pandanganku pribadi, berbicara banyak adalah terlalu beresiko terlepas dengan siapa kita berhadapan bahkan jika hanya untuk bertukar pikiran. Bukan berarti tidak senang berkomunikasi, namun ketelitian memang sangat diperlukan dalam mengolah informasi. Sehingga banyak mendengarkan akhirnya menjadi yang layak dipilih sebagai pendukung terbaik dalam proses pengolahan informasi. Setelahnya, media tulisan kemudian dapat digunakan sebagai sarana mengungkapkan pikiran dari hasil proses pengolahan informasi.

Tentang ketelitian, ia menjadi sesuatu yang amat penting dalam menulis. Entah itu dengan tujuan agar mudah dipahami orang, juga dalam pemilihan diksi supaya menjadi lebih bersahabat dengan siapa saja. Dalam artian tak ada yang tersinggung, bahkan mempertaruhkan reliabititas konten agar tidak menjerumuskan orang. Sebab sebagai manusia bertuhan, kita perlu mengikuti kaidah yang dipercayai bersama bahwa segala sesuatu yang kita perbuat di muka bumi akan kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak, termasuk perihal menulis.

Dalam hidup, kita mengenal yang namanya aktualisasi diri. Ia dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Menulis adalah salah satu bentuk aktualisasi diri untukku. Dalam menulis aku bisa meninjau berkali-kali ketepatan tulisanku dalam berbagai aspek agar menjadi unik sehingga aku tak mungkin gegabah atasnya. Menurut Abraham Maslow, aktualisasi diri adalah kebutuhan dan pencapaian tertinggi seorang manusia.

Keterampilan menulis kemudian menjadi sangat penting untukku, mengingat bahwa manusia tak akan selalu dibersamai oleh manusia lain hingga liang lahat. Tulisan dapat menjadi bukti eksistensiku yang mana aku dapat mengklaimnya sebagai bukti nyata bahwa aku bisa berkarya dengan mengandalkan segenap potensiku. Bukan maksud menghilangkan eksistensi manusia lain dalam hidupku. Aku bahkan menganggap semua orang sebagai inspirasi untukku. Hanya saja bukti tulisan tersebut dapat menjadi saksi nyata atas kemandirianku, juga atas ketidaktergantungan terhadap manusia lain.

Setelah alasan-alasan tersebut kita akan jumpai alasan naif yang satu ini. Menanam benih kebaikan pada pikiran orang lain melalui tulisan. Hal tersebut sangat menjanjikan bagiku. Oh, tapi tak semudah itu. Pasalnya, aku sudah mawas terhadap jalan yang bakal kulalui. Kerikil tajam, batu besar, tembok tinggi telah menanti di hadapan. Tapi tenang, lagi-lagi kita adalah makhluk bertuhan. Merupakan sebuah keharusan kita mengandalkan kuasa-Nya.

Di dalam kitab umat muslim, Alquran surat Muhammad ayat 7, Allah berfirman "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." Bukankah sangat menjanjikan? Menanam benih kebaikan pada insan lain sehingga berbuah mudahnya melalui jalan yang kau kira akan sulit. Maka, menulislah atas nama-Nya. Bismillahirrahmanirrahim.

Sebagai manusia bertuhan, setiap orang pasti memiliki prinsip yang dianut. Termasuk sebuah prinsip yang banyak dianut namun tak jarang dipahami maknanya secara tak murni bahkan menenggak hasil distorsi. Ya, ada saja memang orang yang akan mencipta stigma buruk atas prinsip tersebut. Prinsip keagamaan. Maka, aku di sini untuk alasan itu. Aku ingin memperjuangkan prinsip yang aku percayai sebagai umat muslim. Orang biasa menyebutnya sebagai dakwah. Mempublikasikan bagaimana islam sebenarnya, dalam bentuk tulisan tentunya. Lagi-lagi ketelitian, pengolahan data atas hal yang krusial ini amat diperlukan. Salah-salah malah bisa menjerumuskan ke jalan sesat. Lagi-lagi manusia bertuhan memiliki yang bisa diandalkan, berdoalah demi kelancaran hidup termasuk dalam hal berdakwah.

Habis membahas si naif, mari kita tengok sisi lainnya. Mengikuti perkembangan zaman, banyak pribadi yang mengabadikan rekam jejaknya dalam bentuk foto atau video. Namun, ada yang lebih menarik untukku. Pengabadian rekam jejak dalam tulisan. Maka kertas dan pena kemudian menjadi sahabat terbaikku, meski tak jarang lembaran-lembarannya ada yang hilang atau terbuang. Sama halnya dengan foto atau video, tulisan pun dapat mengundang kembali emosi yang dikandungnya pada waktu ia dicipta. Lagi-lagi ketelitian. Semakin detail deskripsi, maka semakin kuat emosi yang akan dirasa.

Terlepas dari itu semua, aku memiliki satu alasan yang cukup sulit untuk dideskripsikan. Aku menulis karena seseorang yang telah banyak mendorongku untuk menunjukkan diri pada dunia. Mencipta diri berazam kuat untuk menunjukkan eksistensi bahwa aku bisa berdikari untuk aktualisasi diri. Tulisan-tulisanku adalah perwujudan dari alasan tersebut.

Mengingat aku menulis karena seseorang, artinya banyak momentum yang telah aku lalui. Momentum berharga yang sejatinya hanya terjadi sekali seumur hidup. Namun tak jarang aku melewatkannya, karena satu dan lain hal. Penyesalan baru datang pasca tersadar. Naas, momentum itu tak bisa terulang kembali walau dibuat reka adegan sedemikian rupa. Bagaimanapun, aku tak mau kehilangan momentum. Reka adegan dilangsungkan, kucoba merasa kembali apa yang mestinya dirasa. Tak utuh. Namun lebih baik daripada tidak sama sekali. Akhirnya aku tuangkan semua yang aku rasa dan mestinya aku rasa menjadi sebuah tulisan. Ya, itulah caraku menikmati kembali yang telah lalu.

Dengan mengandalkan estetikanya, banyak orang yang menjadikan tulisan menjadi sarana curahan hatinya. Bukan berarti secara gamblang menceritakan segalanya, hanya saja membalutnya menjadi sebuah sajian yang dapat dinikmati bersama. Maka, dapat kukatakan bahwa aku menggunakan tulisan untuk memoles curahan hatiku sekaligus mengabadikannya dalam bentuk seindah-indahnya agar dapat dikonsumsi publik. Bukankah manusia suka keindahan meski hanya sekedar kata-kata?

Akan kuberitahu satu hal menarik. Bukan hanya sang empunya yang dapat merasakan momen lampau. Bahkan pembaca yang tak pernah mengalami kejadian tersebut dapat ikut merasakan emosi yang dikandung tulisan itu. Benar, berbagi rasa tepatnya.

Oh ya, satu hal lagi. Aku melihat banyak orang yang kemudian ciut atas potensinya, terlepas dari apapun bentuk potensinya. Padahal belum melangkah maju, tapi sudah mundur duluan. Mengingat banyak orang yang terjun di ranah yang sama, kemudian semakin memunculkan rasa tak aman. Untuk hal tersebut, aku pun sama. Merasa tak aman. Tapi, cobalah terus. Kuyakin bahkan seorang profesional membutuhkan jam terbang yang tak sebentar untuk menjadi profesional. Maka, salah satu hal yang bisa aku gunakan sebagai anti-insecure adalah tulisan-tulisanku. Itulah salah satu alasanku untuk tak berhenti menulis. Sebab tak semua orang dapat mencapai tingkat komitmen tertentu perihal menulis.

 

Tentang Penulis :

Edfitri Muflihatusyawal, seorang pemudi yang katanya sulit ditebak. Lahir di Bandung pada 19 tahun yang lalu. Memiliki azam untuk berdakwah dengan tulisannya. Suka mengkaji tentang rasa, meski belum ahli dalam praktiknya. Menjatuhkan diri dengan sungguh-sungguh di dunia kepenulisan sejak 2019. Mari terhubung denganku di Instagram @edfitrim

Share:

4 comments :

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis