Jendela Rasa

            

Oleh: Melfi Nadhriati


1. Menyuarakan Nestapa

Menyuarakan nestapa terkadang merusak harga. Harga yang tertanam dan ditakdirkan ada untuk setiap raga. Namun tetap saja, bagaikan batu karang di tepi pantai yang terus menerus terhempas oleh ombak, sedikit demi sedikit akan terkikis juga. Sekuat apapun kita memeluk lara, akan lemah juga pada masanya. Adilnya, kehidupan selalu memberikan pilihan. Antara membagi kisahnya, atau diam dan mengenangnya lewat kata. Dengan menulis, segala hal yang tadinya terasa rumit, sedikit demi sedikit akan membaik. Dengan menulis, barangkali seseorang memiliki alasan untuk bangkit. Dengan menulis, seseorang akan mengenal dirinya. Tentang bagaimana Ia tumbuh, dan sejauh mana Ia berjuang, kemarin.


2. Mengenang Kisah Bersama Ayah

Berkali-kali aku kembali duduk diruang tamu memandangi jendela yang menjadi sejarah antara aku dan ayah, beberapa tahun yang lalu. Ingatanku sangat buruk. Pada usiaku yang keberapa kah kisah itu terjadi? Lima, enam, tujuh? Sayang sekali.

Malam itu, aku menangis. Sangat lama. Duduk sambil meratap disamping jendela itu. Tiba-tiba Ayah datang. Membawa dan menaikkanku di atas sepeda motor miliknya. Menyusuri dinginnya angin malam bersama. Lalu berhenti di sebuah 'tempat perbelanjaan'.

Dengan mata yang sudah sangat membengkak, Ayah membelikanku dua buah pena di 'tempat itu'. Dengan sederhananya, aku berhenti menangis dan pulang dalam keadaan bahagia, begitu gembira.

Ada begitu banyak kisah yang kulalui bersama Ayah. Shalawatan sepanjang jalan menuju kantor Ayah yang cukup jauh dari rumah, disuapi makan setiap pagi sebelum berangkat sekolah, dan banyak lagi. Dimana hal itu terasa tak mungkin terulang.

Sayangnya, tidak seperti sekarang, kenangan bisa dilihat melalui sebuah gambar yang terekam oleh kamera. Jadi untuk mengabadikan kisah yang sangat indah bersama Ayah, aku akan terus menulis bersama ingatan yang tersisa.

 

3. Untuk Kau Baca

Seharusnya, beberapa tahun yang lalu. Ketika tanah air kita kembali merayakan kemerdekaannya. 17 Agustus 2018. Kala itu, bukan Indonesia saja yang semarak menyuarakan sejarah perjuangan yang sudah menjadi kewajiban untuk dirayakan atas sebuah kemenangan, juga kebebasan. Aku pun begitu.

Aku masih ingat dengan begitu jelas tentang bagaimana langkah kita beriringan, menyusuri padatnya sudut kota, terasa sesak. Ketika orang lain berjalan berarakan, kita memilih untuk berdampingan, hanya kita. Kita yang berjalan cukup jauh, namun memilih untuk diam dan menikmati setiap langkahnya tanpa suara.

Aku pernah menulis, untuk 'slalu' kau baca. Kamu yang menjadi bagian kisah yang kuberi judul 'Pendamping Tanpa Suara'.


4. Pesan Singkat Untuk Tuan

Ada sedikit hal yang ingin kusampaikan, namun Aku tahu bahwa betapa buruknya caraku berbicara. Serba salah yang kupupuk, tumbuh mekar didalam kepalaku, terkadang Ia memberi sinyal kepada hati yang beku untuk sejenak mencair, menjadi alasan yang tepat untuk memulai. Mulai untuk mengakhiri keegoisan, dan kekhawatiran yang teramat besar pada apa-apa yang sebenarnya tak sesuai dengan prasangka. Namun, tetap saja, sinyal itu bahkan terlalu lemah untuk membuatku berbicara.

Maka, aku ingin menjadi seseorang yang bisu dihadapanmu, Tuan. Agar seluruh pesan yang ingin kusampaikan, hanya akan kau baca, tanpa harus kau dengar.


5. Menepis Kecewa

Aku sudah terlalu banyak dan terlalu lama menulis. Namun, Aku tak pernah menghargai setiap bait-baitnya. Karena sebenarnya, aku tak pernah benar-benar menulis untuk diriku sendiri. Beberapa goresan pena yang kubagikan, hanyalah bagian dari ungkapan-ungkapan yang tertunda untuk disampaikan. Tidak, tepatnya tak akan pernah tersampaikan.

Karenanya bagiku, menepis kecewa terbaik adalah dengan menulis. Sebebasnya, Aku bisa menelan emosi dengan baik. Sekehendaknya, Aku bisa mengabadikan alasan dari tiap-tiap goresan yang bertambah, dan membekas. Aku bisa apa, menjadi seseorang yang tak mendapat pilihan untuk menemukan hati dari raga yang juga bernyawa, beda rasa namun menjadi air kala apiku menyala.


6. Menapaki Proses

Sejalan dengan keinginan, aku menulis demi sebuah alasan. Diawali dengan niat ingin berbagi, namun respon yang baik mendorongku untuk melakukan lebih. Dibalik tulisan yang kian memadati beranda khalayak, sebenarnya ada harapan yang tertanam mekar diragaku, untuk menghasilkan sebuah karya yang lebih besar, yang tercetak rapi dalam sebuah buku, dan menjadi koleksi terbaik yang digenggam oleh beberapa tangan, menarik minat beberapa pasang mata untuk hanyut dalam imajinasi yang sama ketika aku menuliskannya. Yang namanya harapan, selalu menginginkan yang terbaik, bukan? Namun, aku tak pernah memaksa untuk merealisasikannya. Karna disamping menapaki proses, ada ketetapan-Nya yang akan jauh lebih baik dari apapun.


7. Menghargai Hati Ketika Ia Ingin Bersuara

Sebagai saudara seraga, sudah menjadi keharusan bagi kita untuk saling menyempurnakan. Kita juga mengetahui bahwa tiap-tiap bagian yang dititipkan di raga kita memiliki keterbatasan dan fungsinya masing-masing. Jadi, jangan egois sama diri sendiri ya. Nanti dikatain 'manusia pisang'. Punya jantung tapi gapunya hati.

Bukan aku saja. Bahkan kebanyakan orang menulis untuk menyuarakan hatinya, meski tujuannya berbeda. Ada yang ingin menyampaikan pesan, atau bahkan ingin memendam namun tak sanggup menahan beban lalu memilih untuk menuliskannya dengan makna yang tak akan bisa difahami, kecuali oleh dirinya sendiri (yang penting terluapkan).

Jadi, supaya hati ga mati rasa, bantu ia untuk menyuarakan suka dan dukanya "tanpa harus merugikan pihak lain".


8. Karena Ingin

Kalau diuraikan, ada banyak karena yang tak akan cukup dimuat dalam tulisan ini. Jadi ambil titik amannya saja. Aku menulis, karena ingin. Alasannya sudah sangat bisa dimengerti, bukan?


9. Meninggalkan Jejak

'Manusia mati meninggalkan nama'.

Alam semesta dikuasai oleh Sang Pencipta dan Sang Pemelihara yang menyimpan begitu banyak rahasia. Sebagaimana hidup kita, ada banyak pula rahasia yang memang sebaiknya kita simpan rapat-rapat, untuk alasan tertentu. Disamping itu, ketika kita berbicara sekalipun, tidak selamanya telinga pihak lain dengan suka rela mendengarkan.

Aku pernah mencoba berbicara, untuk sesuatu yang enggan kuungkap. Namun, aku juga tak selamanya sanggup menampung kisah yang kian menumpuk di kepala, juga terasa begitu sesak di dada. Aku mengumpulkan niat yang kuat untuk mulai bercerita, namun yang terjadi? Tidak sesuai harapan. Aku tak mendapat apa-apa. Entah itu respon, solusi, nasihat, ataupun motivasi. Karenanya, bercerita pun harus memilih orang yang tepat. Keluarga sekalipun, belum tentu bisa menjadi 'seseorang yang tepat' itu.

Aku baik-baik saja. Hanya saja, sebagaimana kata ayah, 'rasa takutmu itu terlalu besar'. Bagaimana lagi? Aku tak begitu mahir membunuh karakter sendiri.

Dengan kepergian seseorang, ada rindu yang begitu menyakitkan. Jika bertemu dapat menyederhanakan rindu yang kian merumit, lantas bagaimana untuk mereka yang alamnya berbeda? Oleh karenanya, 'meninggalkan jejak' itu penting, kan? Boleh jadi sebagai  penawar rindu.

Dan sekali lagi, aku memilih untuk 'meninggalkan jejak' lewat tulisan. Dengannya, akan ada banyak rahasia yang akhirnya akan dimengerti, bahkan terlalu dalam untuk dimaknai. Meninggalkan jejak lewat tulisan, adalah cara terampuh untuk abadi, meski raga sudah tak bernyawa lagi. Menjadi sejarah untuk generasi kita nanti.

Layaknya sudah banyak para pujangga yang kembali pada-Nya, namun dengan menulis, mereka abadi di hati dan jiwa para penggemarnya.

Pematang Tengah, 07 Agustus 2020




Tentang penulis:

Nama saya Melfi Nadhriati, salah satu peserta yang telah menyelesaikan tantangan menulis selama 10 hari bersama Ruang Nulis. Saya adalah seorang mahasiswi di Universitas Islam Negri Sumatera Utara, stambuk 2019. Saya lahir di Pematang Tengah, 11 Januari 2002. Asal dari Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara. Akun instagram saya @melfinadhriatii. 

Share:

13 comments :

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis