Ada Allah di Ujungnya

Oleh : Alfath.Naa

Bagi pecinta literasi, menulis adalah kebiasaan tak disengaja. Tiba-tiba saja suka, seketika saja merutinkan. Tapi ketika ditanya alasan spesifik apa yang menyebabkan seseorang memilih menulis maka akan kita temukan beragam jawaban. Ada yang berteriak lantang karena cinta, ada juga yang berlirih tersebab tak mampu menyuarakan. Dan inti yang kutemukan dari semua alasan itu adalah "Karena ada Allah di ujungnya".

 

Tak percaya? Mari kita buktikan dengan merangkum "10 alasan kenapa kita harus menulis". Mudah-mudahan setelah membacanya, kamu akan tersenyum ranum dan menganggukkan kepala tanda setuju.

 

  1.     Karena Kita Bukan Anak Ulama

Salah seorang filsuf dan teolog muslim persia -Imam Al-Ghazali- pernah berkata, "Jika engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka menulislah!". Kalimat sederhana ini bak oase di tengah gurun. Menyiram ketidak-percayaan diri perihal "Kita bukan siapa-siapa". Saat membacanya, kita seperti mendapat jalan yang benderang. Pena bisa dijadikan perisai tajam untuk menyuarakan kebenaran. Kertas-kertas kusam akan disulam menjadi singgasana kemerdekaan. Kita tetap berkuasa walau bukan anak raja. Lebih dari itu, kita bisa didengarkan meski bukan anak ulama. Dan ujungnya adalah Surat Cinta dari Tuhan memperoleh banyak pendengar.

 

  1. Karena Umumnya Manusia itu Pelupa

Khilaf dan lupa adalah sebuah kewajaran apalagi jika disematkan kepada makhluk bernama manusia. Namun tidak ada toleran untuk seseorang yang pelupa taraf akut. Sebab jika dibiarkan, kita akan hidup hanya dengan potongan-potongan ingatan; tak ada yang utuh. Bertambah miris jika bagian urgen yang justru lumpuh. Jadi, kita harus memaksa jari-jemari untuk menuliskan. Berharap bisa meminimalisir kemungkinan kehilangan poin penting dalam rute perjalanan selama menyelami semesta. Semoga goresan pena bersedia membalut lupa yang tentu saja atas kuasa Sang Maha.

 

  1. Karena Kita Butuh Banyak Pendengar

Meski kita berteriak lantang di depan kelas, tetap tidak ada jaminan untuk membunyikan suara sampai di lorong-lorong koridor. Walau kelak kita berbicara dari satu forum ke forum lain, titah itu tak berpendar luas. Keluhan yang diriuhkan dibatasi tembok-tembok tebal dan tinggi. Namun, menulis itu ajaib. Kita tak perlu menganga mengungkapkan kata per kata. Cukup melarikan pena di atas selarik kertas atau memanfaatkan kecanggihan teknologi, kita sudah bisa mendapatkan pendengar yang begitu ramai. Dan tentu saja, pendengar sangat berguna untuk menggemakan kebenaran dari Tuhan.

 

  1. Karena Kita Riuh Yang Senyap

Berbicara di depan umum adalah pekerjaan yang tak mudah apalagi untuk orang yang introvert. Butuh latihan ekstra untuk bisa dan hasilnya pun jauh dari harapan. Seorang introvert benar-benar mengalami problem dalam hubungan sosial. Meski sudah mencoba berbaur tapi selalu saja merasa sepi di tangah riak. Sehingga memilih bisu ketimbang ribut sampai memendam beberapa potong perasaan meski harus menimbun sesak. Dan menulis bisa menjadi alternatif penolong. Menghangatkan pendar beku, mencairkan rangkulan kaku. Kita bebas berekspresi, kendati terkadang masih disertai bahasa baku. Kita merdeka mengeksekusi kata, walau suara tak selalunya membeli laku. Yang lebih penting dari itu, dengan menulis seorang introvert tetap mempunyai kesempatan untuk mendakwahkan kebenaran.

 

  1. Karena Kita Butuh Pengingat

Pernah nggak, teman-teman baca tulisan terus tiba-tiba hati tersentak, "Ya Allah, ini aku bangat". Kemudian dengan riuh menggetarkan istighfar. Percayalah, tersinggung karena tulisan sendiri jauh lebih mencambuk. Lantas dengan sungguh berbisik lirih, "Wahai Allah, aku pernah menulisnya dan sekarang justru aku sendiri yang lalai. Mohon, ampunkan aku dan tuntun hatiku untuk kembali ke Titah-Mu." Jadi, salah satu alasan menulis amatlah sederhana. Yaitu karena kita butuh pengingat besok lusa. Sebab manusia biasa tak luput dari salah dan lupa.

 

  1. Karena Dengannya Kita Bahagia

Meski yang tertulis tidak selalu mengundang senyum, tapi mampu mengundang bahagia. Sebab dengannya, kita  sanggup membuktikan bahwa luka ranum itu tak absen membawa harum. Meski yang tertulis tak jarang mengandung bawang, tapi sanggup melirihkan bahagia. Sebab dengannya, kita mampu mengubah duka jadi karya. Perih jadi gurih. Isak jadi sajak. Meski yang tertulis seringnya membunyikan darah, tapi sukses meraup bahagia. Sebab dengannya, kita kuasa membalut amarah jadi suplemen hijrah. Dan ujung dari semua itu adalah sesuatu yang mewah. Pelajaran hidup; bahwa Tuhan kita selalu memberi pilihan untuk melihat patah jadi "wah".

 

  1. Karena Kita Ingin Menanam Benih Manfaat Berbuah Abadi

Saat mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah dasar dulu, ada sub pembahasan yang sampai sekarang masih sering didengar dan ditekankan di sekitar."Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lain". Kalimat sederhana yang lambat laun kita ketahui sebagai sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Sebagian dari kita mungkin tak punya harta untuk didermakan hingga bertumpu manfaat. Atau kita masih mengais ilmu sehingga terlalu lama menunggu untuk menjadikannya salah satu yang diperlukan. Jadi, mari menarikan jemari bertinta pengetahuan seadanya. Berharap ada hati yang tergerak untuk merasakan hembusan hangatnya. Berharap benih manfaat yang ditanam berbuah abadi.

 

  1. Karena Dengan Menulis Kita Pulih

Untuk sebagian orang, setiap kali berpapasan dengan hampa hal kedua yang bisa dilakukan setelah mengadu pada Tuhan adalah menuliskan. Sebab seusai menuliskan kita bak diterpa keajaiban; seperti menemukan jawaban padahal tanya masih aman dalam genggaman. Seusai menuliskan kita bak dihidangkan pemahaman; seperti menghirup seteguk air di tengah teriknya padang pasir. Seusai menuliskan kita bak ditiupkan kekuatan; seperti mata berbinar tatkala mawar marak bermekaran. Jadi, jika definisi sembuh adalah pemahaman dan kekuatan yang berpadu dalam keajaiban, maka kita telah menemukan penawarnya cukup dengan mengadu pada Tuhan lantas menuliskan. Karenya, dengan tegas akan kulantangkan, "Atas nama Ar-Rahman yang telah menitipkan pena lengkap dengan alat canggih untuk menggerakannya, menulis menjadi salah satu obat patah paling mujarab".

 

  1. Karena Kita Tak Punya Apa-apa

Kita tak punya kedermawanan seperti Abu Bakar As-Siddiq yang menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah, lantas berkata, "Cukuplah Allah dan Rasul-Nya yang kusisakan untuk diriku dan keluargaku". Kita tak punya keberanian seperti Umar Bin Khattab yang dengannya beliau dijuluki Singa Padang Pasir. Kita tak punya harta berlimpah seperti Abdurrahman bin 'Auf yang sisa dari sedekahnya masih bisa membuatnya memiliki kapak dari emas. Kita tak punya kecerdasan seperti Ibunda Aisyah binti Abu Bakar-Istri Rasullullah- yang dengan kecerdasannya mampu meriwayatkan ribuan hadis.

Padahal kita sama tahu bahwa Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Abdurrahman bin 'Auf serta Ibunda Aisyah binti Abu Bakar sudah dijaminkan surga tapi tak lantas membuat mereka bermalas-malasan dalam beramal; senantiasa berlelah-lelahan mengikat taat pada Allah dan Rasulullah . Kita benar-benar tak punya apa-apa. Jadi dengan menggerakan pena berkisah tentang mereka, semoga ada celah bagi diri yang hina ini untuk serumah bersama mereka di Surga-Nya kelak. Aamiin.

 

  1. Karena Kita adalah Hamba

Karena kita adalah hamba yang tugas utamanya tak lain dan tak bukan adalah untuk beribadah kepada Tuhan. Seorang hamba yang sadar betul masih sedikit amalan kebajikan. Seorang hamba yang tak jarang lalai dari kewajiban tapi selalu menuntut agar hal-hak disegerakan. Sungguh, sebagian besar dari kita adalah hamba yang jauh dari kesempurnaan. Jadi, semoga lirihan tinta di atas kertas kusam bisa menjadi titik-titik benih yang mampu tumbuh subur menutupi segala kekurangan diri sebagai hamba Sang Rahman.

 

Terbuktikan kalau aku, kamu dan kita semua bisa memilih untuk membuat tulisan yang selalu ada Allah di ujungnya sebab memang Dia yang menjadi alasan tak terduakan.

 

Semoga Bermanfaat ^^

__________

Tentang Penulis :

Gadis 20 tahun ini bernama lengkap Sitti Naima Kasim. Dia berharap tulisan-tulisannya bisa menjadi Alfath (pembuka) pintu-pintu kebaikan bagi sesama sehingga menjadikan Alfath.Naa sebagai nama penanya. Baginya tak perlu ada di jurusan sastra untuk jatuh hati dengan aksara. Jika ingin berteman akrab, kamu bisa menemukannya di akun instagram @alfath.naa.

 

 

 

Share:

1 comment :

  1. Wah, tulisannya mudah dibaca dan memberi kesejukan dalam jiwa,, terima kasih berbagi idenya kak,, 😊🍀

    Salam dari anak bawang 🤭🤭🤭


    #MengingatiNiatMenulis
    http://artikel.ruangnulis.net/2020/08/mengingati-niat-menulis.html?m=1


    Salam dari

    ReplyDelete

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis