Oleh: Dyah Rahmadhani Saraswati
Sebetulnya tidak perlu banyak alasan untuk menulis. Menulis ya menulis saja, tetapi kali ini saya akan mencoba menguraikan apa-apa yang membuat saya tergerak untuk menulis.
Pertama, menulis adalah keteduhan. Bagi saya tulisan yang dihasilkan dari kerangka pikiran memberikan rasa teduh yang luar biasa. Seperti siraman hujan yang membasuh kering kerontangnya hati. Rasa itu muncul dengan sendirinya. Untaian kata-kata menjelma bening air dari pucuk-pucuk langit untuk menenteramkan gejolak yang sedang mampir. Lantas api yang tersulut itu reda seiring dengan kisah yang tertuang tinggal ampasnya saja.
Kedua, menulis juga merupakan teknik penyembuhan. Kehidupan ini kejam. Lika-liku yang terjal harus dilalui dengan tapak yang tegar. Luka-luka menganga di setiap perjuangan yang panjang. Oleh karena itu, terkadang penyembuhan yang efektif adalah seni berbicara hati lewat media tulisan. Tidak serta-merta luka mampu diobati dengan dedaunan herbal atau bius-biusan. Namun, luka itulah yang akan menyembuhkan dirinya sendiri melalui aksara-aksara yang memberikan keteduhan dan rasa tenang.
Bagi saya menulis adalah penyembuhan yang tak membutuhkan pamrih. Apa pun rasa yang sedang tertanam dalam hati termasuk kesedihan itu mampu disembuhkan dengan baik. Tulisan-tulisan yang selalu mendengarkan setiap denyut nadi yang rapuh tanpa daya.
Nah, untuk alasan yang ketiga adalah menulis bagi saya sebuah jalan kepulangan yang abadi. Tidak perlu bersedih ketika jejak yang tertoreh di bumi hilang seiring masa. Manusia bisa mengabadikannya lewat kata-kata. Mungkin kisahnya tidak seluas sejarah para pejuang. Namun, sejarah manusia itu tetaplah berarti bagi lingkup kecil kehidupan yang bahagia karena dia merupakan tokoh utama dalam kehidupannya sendiri.
Manusia ibarat sutradara yang mengatur jalan kisahnya mau serumit apa pun itu. Baik kesedihan atau kebahagiaan adalah pilihan yang mesti ditempuh. Dan hidup adalah soal bertahan dalam setiap luka. Apa pun dapat terabadikan dengan sempurna. Kata-kata tak pernah mati. Selalu hidup dalam jiwa yang bertumbuh dengan cinta dan kehangatan.
Torehkan kisah bahagia, rangkaikan juga lara. Lengkung senyum dan air mata itu lukiskan dengan nyata.
Keempat, bagi saya menulis adalah simpanan kenangan yang tak lekang oleh masa. Bahkan ketika jejak digital dan tapak langkah tiada lagi tersisa, ada setumpuk buku usang di lemari yang tak terbaca. Namun, akan selalu memberikan esensi yang baru dan kehangatan mengenai sejarah lampau.
Tumpahnya air mata di atas kertas pena menjadikan kekuatan yang rekat. Sampai kerinduan menengadah dan Tuhan telah menetapkan, apa pun yang terjadi kau harus tetap menulis dalam angan di kepalamu.
Kelima, menulis adalah sarana perbaikan hati. Ketika sedang gundah gulana, jalan yang tepat memperbaikinya adalah kata-kata. Meskipun sulit mengungkapkan, pikiran butuh dicurahkan.
Sekesal apa pun pada kehidupan, tidak ada yang lebih baik dari menulis. Kaubisa mencurahkan tanpa harus menyinggung siapapun.
Alasan keenam, menulis bagi saya sebuah proses untuk tumbuh dan berkembang. Kehidupan selalu melesat cepat tanpa disadari. Dengan menulis, manusia mampu menciptakan kenangan di antara proses yang membara dalam hidupnya.
Setiap detak adalah kekuatan yang tak boleh disia-siakan. Manusia pun tak pernah tahu kapan waktunya berakhir. Dan tumbuh itu adalah sebuah kepastian. Namun, tumbuh versi saya adalah dengan menulis hal-hal di sekitar pada perubahan sedikit demi sedikitnya.
Hal ketujuh yang membuat saya menulis karena kata-kata adalah perantara kerinduan. Ketika tidak semudah itu melampiaskan kerinduan, tulisan jelma hal yang tepat untuknya. Tidak peduli seberapa dalam dan jauh keresahan yang meliliti jiwa, kerinduan memerlukan sejatinya peneman yang akan meredakan.
Kedelapan, menulis untuk melambungkan harapan yang berserak di antara kepala-kepala masalah. Segalanya tidak serta-merta tak membutuhkan peluh yang bercucuran. Perlu mimpi yang dikekang untuk menggapainya dan kata adalah sebingkai rasa yang menyempurnakan harapan itu.
Kesembilan, menulis adalah proses memeluk perih. Tidak perlu menjauhi kepedihan, sebab kehidupan sudah diatur dengan sedemikian rupa sehingga di dalamnya pasti ada suka dan duka. Tubuh dengan luka menganga di mana-mana dapat dipulihkan dengan sebuah tulisan.
Tulisan memberikan keteduhan yang pasti seperti air yang mengalir di dalam pikiran dan esensi yang dituangkannya memberikan hati sebuah ketenangan luar biasa.
Kesepuluh, bagi saya menulis merupakan untaian perasaan pada setiap detik kehidupan. Napas yang diembuskan memiliki perasaan yang berbeda sehingga manusia dapat menuangkannya dalam sebuah kata-kata.
Ketika untaian tersebut disatukan, jadilah kisah hidup yang memberikan pengalaman dan pemahaman kepada orang lain sehingga kita bisa berbagi cerita yang mungkin dibutuhkan oleh orang lain sebagai refleksi.
Alasan terakhir atau yang kesebelas, menulis adalah sebuah jeda pada proses kerumitan kehidupan. Misalkan ketika penat datang menerjang bagai ombak, manusia bisa menuangkan lewat tulisan sebagai tempat peristirahatannya.
Kerumitan yang memenuhi kepala tidak serta-merta membuat manusia harus berhenti dalam fase yang terus berjalan. Manusia mungkin hanya membutuhkan sedikit jeda sebelum kembali melangkah. Dan jeda itu mampu diperoleh dari kalimat yang beruntai.
Tentang Penulis:
Dyah Rahmadhani Saraswati adalah gadis yang lahir di Mojokerto, 25 Oktober 2004. Ia baru saja menapaki masa putih abu-abu di SMA Negeri 1 Puri dengan kisah perdaringan. Kini segalanya serba berjarak dan saling menjaga agar tak meretakkan satu sama lain. Ia mulai menulis sejak tahun 2018.
Hai, Kak terus semangat, ya.
ReplyDeleteYuk, mampir di karyaku.
Perbincangan Aksara.