Meramu Kata, Sepenuh Cinta


Oleh: Aisa Humaira


 

sebuah catatan;

mengutuhkan niat beraksara.

 

01

Dalam sepekan saja, pastinya banyak ide dan pikiran yang bermunculan, rencana-rencana, ataupun sekadar impian untuk masa yang akan datang.

Benar, manusia merencanakan, Tuhan yang menentukan. Tapi, tidak ada salahnya kan, menuliskan rencana? Anggap saja sebagai harapan untuk yang segera tiba. 

Maka aku menulis. Apa saja. Agar kelak saat impian dan rencana itu terwujud, aku bisa menengok kembali ke belakang, membuka lembar rencana, dan bersyukur pada Ia yang menjadikannya realita.

Bahkan bilapun tak kunjung terlaksana, bukankah dengan berani menuliskannya berarti kita berani bermimpi? Soal tak menjadi nyata, itu hal lain. Mungkin saja ada yang salah dengan cara kita menujunya, atau bisa jadi hal itu sebenarnya tidak baik untuk diri kita.


02

"Apa yang mesti kubanggakan? Bukankah dulunya aku hanyalah air yang hina, hari ini hidup membawa kotoran, dan kelak menjadi bangkai yang membusuk?"

Hari ini, mungkin aku -kita- hanya sekumpulan jasad bernyawa yang baik buruk jiwa berdasar seonggok daging dalam diri. Hari ini, kita mungkin hanya sekumpulan ketidakpastian yang mengharap Arrahim nya Ilahi.

Maka aku menulis. Agar matiku tak sekadar mati, melainkan juga meninggalkan karya yang abadi. 

 

03

PerintahNya yang paling pertama: iqra', bacalah! 

Dari sinilah bermula sebuah proses: belajar. Setelahnya? Tentu, seperti sebuah nasehat; ikatlah ilmu dengan tulisan. 

Tidak, jangan dulu membahas Ibnu Taimiyah dengan beratus-ratus jilid karyanya. Lihat, ada sebuah karya, tipis saja, namun dikaji berjuta manusia, menghimpun segala pokok ilmu agama. 

Ya, ialah kitab Arba'in an Nawawiyah. Ditulis dan dihimpun dengan segenap kesungguhan; pula mengingatkan kita bahwa seiring tulisan yang kita tulis, kita masih belum ada apa-apanya.

Maka, karena membaca aku menulis. Agar ilmu yang kudapat kini, bisa didapati pula oleh orang lain nanti.

Dan tentu, sembari meluruskan niat, bahwa aku menulis bersebab karenaNya.

04


Terkadang, ada kalanya kita mesti kembali membuka sekumpulan kisah yang lalu. Menyempatkan waktu sejenak menengok fase usia yang telah menjadi abu.

Hey, sudah berapa tahun jatah usiamu yang kamu lewati penuh kesia-siaan? Bisakah kamu menjamin, lima tahun dari sekarang dirimu sudah sesukses impian orang-orang terdekatmu?

Iya, itu kalimatku, teruntuk diri di dalam cermin pagi ini.

Maka, bersebab itu aku menulis. Agar hidupku tak sekadar hidup penuh sia. Dan, apa alasanku untuk tak mensyukuri akal dan jemari sebagai karuniaNya?

 

05

Tiap insan berbeda. Berbeda karakter, pula kebiasaannya. Masing-masing selalu menjadi istimewa dengan caranya sendiri.

Didalam itu, karakter tiap diri berkembang mengikuti usia. Ia kadang terbaca dalam gores huruf dan kalimat yang kita cipta.

Karena itu aku menulis. Apa saja. Agar diriku sendiri mengenali wataknya. Agar diriku, tak keliru memahami karakternya. Agar diriku, tak salah memperlakukan orang lain karena merasa paling istimewa.

 

06

Manusia dicipta dengan akal. Membedakan ia dengan makhluk Tuhan yang lainnya. Menjadikan ia sebagai sebaik-baik ciptaanNya.

Pun, manusia dikaruniai nafsu. Ia menuntut bahagia. Bisa mengajak pada kejahatan yang menjadikannya nista, atau dialihkan pada ketaatan yang makin membuat mulia.

Maka aku menulis. Bersebab pikir yang terkarunia, mewujud menjadi amal nyata. Bersebab mungkin ada hati kelam yang perlu didatangi, menggandeng ia menuju cahaya. 

 

07

Memasuki hari ketujuh tantangan sepuluh hari menulis, sepertinya memang perlu untuk kembali mengokohkan alasan menulis, meluruskan niat sekali lagi.

Berhenti sejenak.

Benar, layaknya hati yang mudah berbolak-balik, niat pun kadang mudah berubah-ubah. 

Apa alasanmu menulis? Bersebab apa?

Mencoba menelisik dalam diri, apa menulisku sekadar untuk popularitas agar dikenal penduduk bumi? Menulis lepas tanpa makna, kosong sama sekali. Hampa arti.

Maka aku terus mencoba menulis. Memilah dan memilih kata, agar menghasil karya yang tak kosong makna.

 

08

Ah, terkadang perasaan memang bisa sehebat itu. Membuat seorang apatis menjadi super peduli. Mengubah yang gagap menyusun kata tiba-tiba saja lancar menulis apa saja tentangnya. Atau sebaliknya, justru bertambah gagap-gugup saat bertatap muka?

Tetapi, di setiap rasa, seringnya ada saja luka. Disimpan sendiri, berhari-hari. Menumpuk. Rapuh juga akhirnya, walaupun semenjak awal sibuk menguatkan diri sendiri.

Dan, benar. Seringkali luka tak sanggup menjadi kata yang bersuara. Maka aku mencoba menulis. Menerima yang telah lalu, belajar dari hal itu. Mengalihkan perasaan dari yang tak pasti menuju yang Maha Pasti.

Yang kepadaNya kita kembali, yang kepadaNya harapan takkan mengkhianati.

 

09

Tidak jarang, kalimat yang kita susun sedemikian rupa terasa samar maknanya. Berkali dibaca, seakan ada yang hilang dari sana. 

Agaknya kita perlu kembali menengok dalam diri. Apa benar kita menyertakan hati disaat menulis? Atau jangan-jangan, kita menulis sekadar agar segera selesai saja?

Bersebab menggapai hati lewat tulisan diperlukan hati yang ikut serta dalam prosesnya. Tidak bisa dengan kata 'sekadar' atau 'yang penting selesai'.

Betul. Perlu kesungguhan didalamnya.

 

CINTA

Akhirnya, bila kugabungkan semua alasanku menulis sejak awal, ada berbagai sebab yang semakin meyakinkanku untuk terus menulis.

Bersebab aku membaca dan ingin berbagi dengan orang lain. Bersebab ada banyak rencana hari ini yang menuntut nyata, hidup yang tak bisa sekadar hidup dan mati yang berharap abadi.

Tentu, sembari menghadirkan hati, mengenali karakter diri, menerima yang telah lalu serta meluruskan niat bahwa aku menulis karenaNya, mensyukuri karuniaNya.

Dan keseluruhan alasanku menulis sejatinya adalah tentang cinta. Menebar manfaat dalam senyap, menggandeng mesra ia yang hampir-hampir menyerah, bersama menuju cahaya melalui aksara yang tercipta.

Selalu tentang cinta.

 

Bumi Allah,

27 Juli 2020-5 Agustus 2020

 


tentang penulis

Penulis kelahiran 19 April, berusaha memanfaatkan waktu luang dengan banyak kegiatan santai termasuk menulis dan membaca. Cita-cita sering berubah tergantung buku apa yang baru selesai ia baca. Sapa di akun instagram kepenulisan @aesaa21 .

Share:

7 comments :

  1. Menulis karena cinta❤

    Mampir juga di tulisan saya:
    Berawal dari Hati

    Semangat.

    ReplyDelete
  2. Kereennn, iya bener diakhir semua karena kita cinta melakukannya

    ReplyDelete
  3. untuk menyapa bisa di akun instagram @aesaaya ya :) see u!

    ReplyDelete

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis