DALIH MENULIS: MULAI DARI PATAH HATI HINGGA MENEBAR MANFAAT


 

OLEH: MOHAMMAD AZHARUDIN



Awal mula saya menulis berangkat dari mencari pelarian. Layaknya anak-anak remaja yang lain, saya dahulu biasa menulis di Facebook (membuat status). Hanya saja intensitas saya dalam menulis di Facebook bisa dibilang sangat sedikit bila dibandingkan dengan teman-teman sekelas saya pada waktu itu.

 

Kenyataan yang terlihat di depan mata sering kali membuat HATI TERBELAH, tapi saya berusaha menyembunyikan semua itu dalam diam. Kemudian saya berusaha untuk mencari jalan keluar. Akhirnya saya tuangkan apa yang saya rasakan ke dalam tulisan (status Facebook), dan setelah menulis saya merasa lebih baik. Inilah yang kemudian menyebabkan saya tak berhenti menulis walau nurani sedang teriris.

 

Setelah saya menjadikan tulisan sebagai tempat pelarian dari relaita yang menyakitkan (hingga bisa membuat saya sembuh darinya), saya kemudian merasa bahwa agaknya tulisan-tulisan saya selama ini "kurang greget". Saya sadar bahwa negara ini negara demokrasi, artinya semua warga negaranya berhak mengutarakan pendapatnya masing-masing.

 

Berangkat dari situlah saya kemudian mencoba membuat tulisan sebagai wadah dari apa yang ada dalam kepala saya. Dalam fase ini, (jujur) saya merasa bahwa diri sayalah yang paling benar. Apa yang tidak sesuai dengan pandangan saya, maka itu salah. Oleh karena itulah, tulisan saya di fase ini cenderung terkesan "minteri".

 

Saya berada di fase tersebut (merasa paling pintar & benar) cukup lama. Akibat arogansi saya termaktub, saya kemudian benar-benar dimasukkan dalam situasi yang menyadarkan saya. Waktu itu, dosen saya memberi tugas untuk membuat artikel dengan syarat tingkat plagiasinya tidak lebih dari 16%. Karena saya merasa sudah banyak pengalaman, akhirnya saya menggampangkan tugas tersebut.

 

Setelah hasilnya ditunjukkan, saya benar-benar terpukul hingga kemudian sadar bahwa ada banyak orang yang kualitasnya lebih baik daripada saya. Akibatnya, di satu sisi saya menyesal karena sombong dan di sisi lain saya merasa iri dengan kualitas tulisan teman-teman. Dari situlah saya kemudian terus menulis untuk mengejar ketertinggalan saya selama ini.

 

Beberapa purnama telah terlewati, saya masih sangat menyesal karena kesombongan diri saya meskipun telah berusaha untuk terus memperbaiki tulisan. Saya bertanya dalam hati, "Apakah yang saya lakukan selama ini sia-sia?". Lalu, tiba-tiba saya merasa tertantang untuk mengikuti kompetisi/lomba menulis.

 

Alasan saya sederhana, bukan karena saya ingin mengalahkan orang lain, tapi saya merasa bahwa masa muda saya terlampau biasa saja. Saya ingin masa muda saya penuh perjuangan. Dengan demikian saya nantinya bisa menceritakannya kepada anak-cucu. Harapannya mereka bisa terinspirasi untuk menjadi manusia yang lebih baik daripada saya. Semoga saja, amiin!.

 

Fase saya dalam menulis yang selanjutnya, saya rasa tak jauh berbeda dengan fase yang pertama yakni sebab "Mencari Pelarian". Hanya saja, tulisan saya di fase ini saya tuangkan dalam perlombaan, bukan lagi status Facebook. Waktu itu (di fase ini) saya merasa seolah saya ditakdirkan untuk disalahkan.

 

Entah apa penyebabnya, orang-orang di sekitar saya―dalam pandangan saya saat itu―sangat mudah memberi putusan bahwa saya salah. Jujur, kala itu saya tak terima dengan perlakuan demikian dan saya merasa tak mampu melawan semua itu, akhirnya saya putuskan untuk mencurahkan perasaan tersebut dalam tulisan. Mulai dari sinilah saya merasa bahwa tulisan adalah tempat curhat terbaik saat tak ada lagi orang yang bisa dipercaya untuk berbagi keluh-kesah.

 

Tulisan-tulisan saya tersebut saya coba ikutkan dalam beberapa perlombaan, namun saya selalu saja mendapat hasil yang sama, hanya sampai pada batas "peserta", tak lebih. Dari situ saya sempat pesimis, saya merasa bahwa saya tak memiliki bakat sama sekali dalam menulis. Saya berpikir bahwa saya akan tetap mendapat hasil yang sama di setiap lomba.

 

Sampai kemudian @ruang_nulis mengadakan lomba cipta puisi di bulan Ramadhan dan saya coba ikut berpartisipasi. Kala pengumuman telah tiba, saya benar-benar tak percaya ketika melihat nama saya ada dalam daftar penulis terpilih. Dari sinilah harapan saya mencuat kembali, pun dengan semangat saya dalam menulis.

 

Selepas saya masuk dalam kategori penulis terpilih dalam lomba yang diselenggarakan oleh @ruang_nulis, di beberapa lomba berikutnya saya pun mendapat hal yang sama. Meski demikian, saya masih agak ragu untuk membagikan tulisan saya kepada orang-orang di sekitar. Keraguan tersebut cukup mengganggu saya dalam berkarya.

 



Saya kemudian berusaha untuk melawannya, saya coba bagikan tulisan saya melalui link yang saya cantumkan di status Whatsapp. Tanpa saya sangka, ternyata beberapa dari mereka yang melihat status saya tersebut mau membacanya. Kemudian mereka saya mintai kritik, bersamaan dengan itu mereka semua mengatakan kepada saya untuk "Terus menulis".

 

Waktu terus berlalu, saya mencoba mengirim tulisan saya ke media. Namun, belum ada satu pun yang lolos kurasi. Hingga pada suatu hari, saya membaca tulisan yang isinya maqalah dari Imam Ghazali. Kurang lebih seperti ini, "Bila engkau bukan putra raja atau ulama besar, maka menulislah!". Jujur, ketika saya membaca maqalah termaktub waktu itu, saya belum membaca biografi Imam Ghazali secara penuh―walau sekarang masih tetap belum sih.

 

Saya lalu penasaran dengan latar belakang Imam Ghazali. Setelah saya baca―meski tidak tuntas―saya simpulkan bahwa ternyata Imam Ghazali memang bukan putra raja atau ulama besar, namun beliau bisa menjadi orang besar. Dari situ saya sadar, bahwa perjuangan saya (dalam menulis) masih sangat rendah dibanding Imam Ghazali.

 

Minggu terlewati, bulan terlalui. Saya telah mengirim beberapa naskah saya ke media dan  mengikuti tak sedikit lomba menulis. Lomba menulis yang menurut saya pribadi cukup menantang adalah lomba menulis esai atau opini. Mengapa demikian?. Ketika saya membaca pamflet tentang lomba opini maupun esai, saya merasa bahwa apa yang saya pelajari selama ini masih sangat sedikit.

 

Saya berpikir, mungkin dengan mengikuti lomba tersebut, porsi saya belajar bisa lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Dan benar, ketika saya turut serta dalam lomba menulis opini atau esai, saya harus memutar otak, berpikir lebih keras daripada biasanya. Karena hal tersebut, saya mengerti bahwa menulis memberi saya banyak hal baru. Tak hanya dalam perlombaan, hal tersebut juga berlaku ketika saya hendak mengirim tulisan ke media.

 

Selepas menghasilkan beberapa karya tulis, saya mencoba berpikir. Saya masih merasa kosong, hampa, tak memiliki idealisme berkarya. Hingga di suatu waktu saya menemukan idealisme berkarya yang patut saya gunakan. Idealisme tersebut mmilik Bondan Prakoso. Dalam video yang berjudul "Pejuang Garis Finish [Behind The Scenes]", Bondan Prakoso menyatakan bahwa dia ingin karyanya punya manfaat.

 


Dari situ saya mulai merenung, berdialog dengan diri sendiri, "Tulisan-tulisanku selama ini ternyata hanya menunjukkan besarnya egoku". Setelah itu, saya berusaha untuk menjernihkan kembali jiwa, nurani, dan pikiran untuk kemudian menata niat yang baru. Saya mulai bertanya kepada diri sendiri, "Untuk apa engkau hidup bila tak bisa memberi manfaat kepada yang lain?". Kemudian saya mulai menulis lagi agar saya dapat memberi manfaat kepada sekitar melalui tulisan saya.

 

Banyuwangi, 7 Agustus 2020

 

Tentang Penulis

Mohammad Azharudin, begitulah nama lengkap yang diberikan oleh orang tua saya. Saya berasal dari ujung timur pulau Jawa, sebuah tempat yang masyhur dengan sebutan "Kota Santet", Banyuwangi. Saya hanya seorang anak muda biasa yang suka belajar. Saat ini saya sedang menempuh jenjang S1 di UIN Sunan Ampel Surabaya.

Share:

1 comment :

  1. keren keren.. mudah-mudahan saya bisa nyusul jadi penulis juga hehe. amiin

    ReplyDelete

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis