Bukan Catatan Kaki



Oleh: Rezki RH

Aku tidak ingat pernah ada pelajaran mengarang waktu aku berseragam merah putih. Akan tetapi, aku ingat, meski tak ada pelajaran mengarang, aku pernah membuat karangan saat duduk di kelas lima. Waktu itu teman-teman sekelasku, memang sedang senang-senangnya membuat cerita, lantas kami bertukar buku, saling baca, saling kritik, berlomba untuk membuat cerita yang menarik. Sayangnya kegiatan itu tidak berlanjut, kami sibuk belajar, bermain dan tentu berpetualang. Aku paling ingat pada momen saat aku menulis cerita dengan judul, "Talili" saat itu aku antusias sekali, semangatku seketika terbakar, dan kenangan itu membekas hingga hari ini, memberiku stimulus saat merangkai kata-kata.

Lanjut di bangku SMP, bangku dimana aku tidak merasakan seragam dongker putih, karena seragamku hitam putih, hehehehe. Masa-masa esempeku dihiasi banyak kegiatan, meski bukan kegiatan tulis menulis, aku tetap sering menulis kok, menulis pelajaran. Hehehe, lagi. Ah iya, juga rajin menulis naskah pidato, apalagi jika berbahasa Indonesia, pembukaannya saja mungkin membuat kalian menutup mata, mengantuk membacanya. Tapi, tak mengapa, toh waktu itu aku senang-senang saja melakukannya. Selain itu, aku juga suka berbalas surat dengan teman-teman, meskipun kita sedang duduk bersebelahan, bosan menunggu para guru yang tak kunjung datang. Berbalas surat juga bagian dari menulis bukan?

Kalian jangan salah paham, surat yang kami buat bukanlah surat cinta yang kalimat-kalimat panjangnya penuh makna, surat kami hanya berisi percakapan-percakapan pendek, yang isinya membahas banyak hal, sama seperti kalian yang bosan beljar lantans membuka aplikasi chatan, bedanya kami tak memiliki gadet untuk bertukar pesan,  jadi kami putuskan menggunakan cara lama, basa-basi bertanya, "Kenapa kamu dihukum tadi pagi?" hingga percakapan ajaib kayak "Eh, nanti kira-kira aku nikah kapan ya?" yang berlanjut pada jawaban "Nanti kalau nikah jangan lupa undangannya ya!" dan sekarang 9 dari 11 teman sekelasku sudah menikah, tanpa ada satupun undangan dari mereka bisa kuhadiri. Kebiasaan berbalas pesan itu membuat aku geregetan, menghayalkan diriku dua sampai tiga puluh tahun kedepan, membayangkan masa depan dan mengenang masa sekarang, lalu menuliskan kenangan-kenangan indah bersama mereka, meski hanya tiga tahun lamanya.

Sekarang, mari kita jalan-jalan ke luar pulau, tepatnya ke Pulau Garam di Jawa Timur, pulau yang kujadikan rumah kedua, tempat aku kembali berkenalan dengan banyak manusia, dari masyarakat Sumatera hingga penduduk Jayapura, perantahu-perantahu handal yang tidak takut ditinggal orang tua. Nah.... di tahun pertamaku, saat  masa-masa anak baru, aku kembali menulis, menuliskan imajinasiku di lembaran-lembaran buku, sayang tulisan tanganku tak seindah pemandangan Danau Ranu Kumbolo, tulisan berantakan seperti ayam yang mencakar-cakar tanah, hal itu membuatku malu, merasa tak percaya diri membagikan karyaku pada teman-teman, jadi tulisan itu kubaca sendiri, cerita selanjutnya hanya kusimpan dalam hati. "Sepertinya aku tidak cocok menjadi penulis," ucapku pada diri sendiri.

Rasa insecure itu tak bertahan lama, tapi cukup buatku enggan menulis cerita lagi. Aku hanya aktif menulis catatan harian, menulis setiap harapan, kenangan kala sedih pun juga saat senang.  Rasa enggan itu  akhirnya bertransformasi setelah kunikmati hari-hari di penjara suci dengan karya teman-teman,  menumbuhkan minta membacaku, dengan begitu keinganan menulisku seolah terpenuhi, imajinasikupun ikut terbang tinggi, bersama barisan-barisan kalimat yang tersusun rapi.

Aku juga jadi senang berdiskusi, bertukar pikiran dengan teman-teman sefrekuensi, Sahabat Pelangi yang selalu ada, saat cantik maupun jelek, saat harum maupun bau, dalam menempuh Ridho Allah Ta'ala. Yang beberapa hari lalu, merayakan hari jadi kesebelasnya lewat sapa di sosial media. Yang hari lalu, juga rayakan Hari Kebesaran bersama, bertukar maaf dengan ponsel di telinga, bertatap muka lewat layar kaca, saling senyum, saling sambung do'a.

Memasuki tahun terakhir sekolah, setelah terbebas dari semua tanggung jawab kepengurusan, aku disibukkan dengan persyaratan kelulusan. Selama kelas akhir inilah tugas menulisku semakin menempuk, semuanya serba ditulis, kecuali saat menghafal. Praktik mengajar, harus nulis. Praktik pidato, nulis lagi. Pulang ke rumah waktu liburan, juga dapet PR menulis.  Sejujurnya aku tidak sesibuk itu, tidak menghabiskan 24 jam kali tujuh dengan menulis, aku hanya siswi biasa yang butuh istirahat juga berleha-leha. Di sela-sela istirahat itulah aku menekuni hobi lain, hobi ngajakin teman yang hobi nulis, bikin alur cerita, sambil menghayal, membayangkan kehidupan para tokoh-tokohnya, untuk kemudian dia tulis ceritanya dan aku dengan senang hati jadi pembaca pertamanya.

Sudah nyaman bukan berarti perjalanan telah usai, resiko selanjutnya harus berani diambil, keputusan harus dibuat, dunia baru telah menunggu. Usai masa pengabdian, aku meninggalkan Pulau Garam, melintasi jalan yang berliku untuk menetap di salah satu kota di gugusan Tapal Kuda. Di sini cerita baru kembali kutulis dalam catatan-catatan harian, juga dalam ingatan. Agar kelak saat aku mulai lupa, aku masih bisa membacanya, begitupula sebaliknya, saat mataku sudah tak sanggup lagi membacanya, semoga ingatanku masih kuat untuk mengenangnya. Karena aku yakin setiap kejadian adalah materi belajar. Meski kadang, paham tak kunjung datang, membuat tersesat tanpa arah apalagi tujuan.

Pelajaran pertamaku adalah tentang adaptasi. Beradaptasi di lingkungan baru menurutku adalah pekerjaan rumah yang rumit, dan lebih rumit lagi saat aku beradaptasi pada rasa yang sebelumnya tak pernah kumiliki. Mengenang rasa itu, rasanya aku hanya ingin tertawa, menertawakan tingkah konyolku yang tak tahu harus berbuat apa, begitu berharap hingga lupa bahwa aku bisa jatuh saat berharap pada yang tidak seharusnya. Saat itu aku merasa menjadi seorang pujangga online yang tak pernah kehabisan kata menulis status pada dinding BBM. Hahahah, aku jadi ingat, karena rasa itu pulalah buku tulisku semakin penuh coretan pengharapan, coretan tentang kisahku yang tak berumur panjang.

Galau karena cinta adalah hal yang biasa, menjadi pujangga yang patah hati juga sah-sah saja. Tapi, aku tidak seberani itu mengungumkan rasa sakit dengan senyum yang terpampang di muka. Kulalui saja perjalanan ini tanpa banyak bercerita, membiarkan hati berdamai dengan keadaan, membiarkan luka-luka itu kering tanpa pengobatan. Hingga suatu hari aku bertemu event kepenulisan dengan tema "Rumah." Kata itu menarik, mengingatkanku pada kebersamaan, bahwa setiap manusia selalu punya tempat pulang, tempat mengadukan segala keresahan, tempat ternyaman bagi hati yang merasa kesepian.

Sejak saat itu, aku mulai giat menulis, giat mengikuti event-event serupa, aku menemukan gairah yang luar biasa dari sesama peserta. Meskipun tak semua naskah yang kukirimkan berhasil menggugah para juri, tapi, tulisan-tulisan itu sukses menggugah semangatku untuk terus menulis, juga mengingtakanku untuk menulis ide-ide yang tiba-tiba muncul di kepala, atau sekedar menulis kisah dari mimpi bertemu ular semalam.

Well ini adalah hari kesepuluh, setiap yang dimulai harus diakhiri, begitupula dengan tulisan ini. Jika pertanyaannya adalah, "Alasan mengapa aku menulis," maka dengan lantang aku menjawab, "Aku tak punya alasan." Bagiku menulis sama halnya dengan perjalanan, kadang kita punya tujuan, kadang kita tersesat, tapi yang jelas kita selalu bisa menemukan pemberthentian. Juga sama seperti saat jatuh cinta, aku tak pernah tahu alasan pastinya, "mengapa jantungku berdetak lebih cepat saat bertemu dengan dia," yang dari tulang rusuknya diriku dicipta.

Sekian, sampai jumpa di perjalanan selanjutnya.


Tentang Penulis

Rezki RH, penulis amatir yang suka nyengir. Baginya "Senyum Pepsodent" adalah simbol keiklhlasan atas semua kejadian yang telah dituliskan Tuhan. Mengajarkan ikhlas tanpa perhitungan juga sabar tanpa batasan. Dia juga punya akun sosial media @rezki_reraha yang dia jadikan tempat untuk mengenal kamu, juga dunia.

 

Share:

4 comments :

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis