Oleh: Idris Rochmadi
Hari ke satu,
Aku sudah menerima tantangan itu. Bukan karena ada maksud tertentu. Pastinya poin pertama yaitu masih banyak ilmu yang belum aku tahu. Meski pun agak ragu, tetap aku melangkah maju. Semoga aku bisa istiqomah selalu. Sampai garis finish yang sudah dituju.
Ponorogo, 27 Juli 2020
Hari ke dua,
Nampaknya masih seperti biasa. Atau aku nya yang kurang peka? Menghadapi simulasi yang bukan ujicoba. Yang terpampang semu di muka. Aku harus menggali banyak rasa untuk dicipta. Agar menemukan hal istimewa. Demi menyambut esok hari selanjutnya.
Ponorogo, 28 Juli 2020
Hari ke tiga,
Aku menyadari adanya hal yang berbeda. Jika kemarin dirasa biasa. Maka hari ini pertambahan makna di jiwa memang benar adanya. Seperti hal aku merangkai kata-kata menjadi frasa. Dan hari ini juga, aku temukan lagi motivasi menulis tanpa pena.
Ponorogo, 29 Juli 2020
Hari ke empat,
Memang waktu berjalan cepat. Ibarat baru kemarin di Angkorwat, sekarang sudah lompat ke lain tempat. Meratap menatap mengasah bakat ditambah menghadiri rapat pengubah tabiat. Untungnya aku masih punya hasrat semangat berserikat memadukan kata-kata menjadi kalimat pembentuk paragraf 100 persen non plagiat. Yahhh semuanya aku lakukan demi pengabdian masyarakat, hebat!
Ponorogo, 30 Juli 2020
Hari ke lima,
Berlama-lama di asrama tanpa irama adalah dilema. Namun tidak percuma, si gulma penulis drama sedang membayar karma. Karena dengan ini dia menerima ritma-ritma stigma dari ulama lewat media penyebar performa. Dan dijadikannya semua paradigma menjadi naskah panorama utama yang menggema dimana-mana.
Ponorogo, 31 Juli 2020
Hari ke enam,
Selamat malam para pejuang digital kalam! Tidak terasa ya setengah tulisan sudah direkam dalam program yang di posting via instagram. Tidak hanya sebagai wadah pencurah isi hati yang kelam, namun juga penyiram isi pikiran yang beragam. Diasah terus-menerus sampai tajam. Bak selebgram menanam benih di sekam, namun menuai tiram di laut dalam. Memang sengaja harus basah tenggelam agar ketika muncul, siap menjadi gelam.
Ponorogo, 1 Agustus 2020
Hari ke tujuh,
Duh, sudah berapa liter peluh merembes dari tubuh? Sudah berapa gigabyte keluh diunduh ruh? Tidak apa-apa. Tetaplah mengayuh diatas benua kertas tak tersentuh. Karena, diatas alas putih yang tersuguh inilah tempat ampuh berteduh dari simpuh ke sepuh. Menjadikan diri tetap terus tumbuh.
Ponorogo, 2 Agustus 2020
Hari ke delapan,
Menjaga lisan adalah alasan mengapa tulisan diciptakan. Termasuk aku yang masih belajar dalam pengaturan kata-kata menjadi kalimat sepadan. Ditambah ketika jiwa angkringan berhalusinasi menembus khayangan untuk menjadi sastrawan, dari sinilah awal mula impian si amatiran bermunculan.
Ponorogo, 3 Agustus 2020
Hari ke Sembilan,
Sedikit lagi tantangan diselesaikan. Ini artinya apa yang disemogakan dan diharapkan akan diabadikan. Panjangnya perjalanan dan banyaknya antrian alasan menjadi pedoman membuat tulisan pengusir kesepian. Akhwat dan ikhwan pun berdatangan memberi dukungan simbol kepercayaan keyakinan jika esok kumpulan coretan bisa menjadi pegangan pengingat akan petualangan, pengalaman, serta pengorbanan yang memberikan kesan di kehidupan.
Ponorogo, 4 Agustus 2020
Hari ke sepuluh,
Bunyi gemuruh dari benda ditabuh sebelum subuh pertanda saatnya untuk berlabuh. Separuh pena ditaruh diatas samudra putih saksi dimana tempat mengayuh. Perjalanan lumayan jauh sudah ditempuh dengan bersungguh-sungguh. Walau aksara masih keruh dan belum menyeluruh, namun semoga dapat menghasilkan riuh. Tengkyuh!
Ponorogo, 5 Agustus 2020
Tentang Penulis
Idris Rochmadi, lahir dan besar di kota Ondel-ondel kini tinggal di kota Reog. Penulis pernah merasakan menjadi mahasiswa dalam program studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Indraprasta PGRI Jakarta. Penulis sangat suka membuat coretan paska melaksanakan kegiatan traveling. Coretannya dapat dilihat di www.idrizro.blogspot.com dan jejak travelingnya di instagram @idrizro
Post a Comment