5 HAL TERSEMBUNYI DI BALIK SEBUAH TULISAN

Oleh : Anindya Hani 


gambar : pixabay


1.      Passion

Kita bicara passion, jadi apa sebenarnya passion itu?

Definisi paling mudah bagiku adalah sesuatu hal yang tak pernah membuatmu menyerah untuk melakukannya berulang-ulang walaupun gagal. Hal yang membuatmu selalu tertantang untuk menjadi lebih baik di dalamnya dan mencapai tujuan tertentu di masa depan.

Lalu muncul pertanyaan, apa perbedaannya dengan hobi?

Hobi bisa diartikan sebagai hal yang dilakukan di waktu senggang untuk kesenangan semata. Jadi seseorang melakukan hobi bukan karena tujuan tertentu di masa depan. Misal, nih, kalian suka lihat drama Korea, nggak berarti harus jadi aktris dan mengungguli Song Hye-kyo , kan?

Sampai sini, sudah terlihat jelas ya perbedaannya. Jadi kalau kita ngerasa suka banget sama sesuatu, jangan buru-buru menyimpulkan kalau itu adalah passion. Hanya karena kita merasa 'ketinggalan' dari yang lain—yang notebene sudah pada berkarya menurut passion masing-masing—kita jadi ikut latah harus secepatnya mengikuti jejak mereka. Sama sekali nggak begitu, ya. Kenapa? Karena berkarya itu nggak ditentukan usia. Setiap orang punya waktu mereka masing-masing.

Passion membuat kita menemukan gairah hidup. Ini passionku, bertemu kalian dalam susunan kata. Entah sedikit atau banyak pembaca dan tombol 'like' yang bakal mampir, aku tetap akan mempersembahkan 'bingkisan' terbaik untuk kalian. Iya, kalian. 

 


picture: pixabay


2.      Speak-up

Pernah merasa marah atau sebal karena seseorang? Atau karena isu publik?  Tapi di saat yang sama, nggak merasa 'berani' untuk mengungkapkannya. Salah satu alternatif lain yaitu dengan menyampaikan lewat tulisan. Tulisan sendiri mempunyai keunggulan daripada berkomunikasi dari lisan ke lisan. Beberapa di antaranya; merasa lebih percaya diri, lebih mudah menata emosi, memperkecil peluang adu mulut, mencegah terbentuknya kubu baru, dan masih banyak lagi. So guys, daripada ikutan julid bin nyinyir di belakang, alangkah lebih baik kalau kita menggunakan tulisan untuk menyampaikan maksud terpendam ke orang yang bersangkutan secara langsung. Ingat ya, langsung ke orangnya. Bukan ngode di WhatsApp story, lho. Kita nggak lagi kemah di hutan.

Penulis dan penyair jaman dulu sering memakai nama pena untuk menyampaikan argumentasi mereka ke ruang publik mengenai isu sensitif. Demikian itu bertujuan untuk untuk menyembunyikan identitas sekaligus menghindarkan mereka dari bahaya. Argumentasi ini biasanya berupa kritik atau satire pedas untuk sebuah oknum atau pemerintah tentang kebijakan maupun sikap yang dinilai tidak layak. Menulis menurutku adalah cara menyerang paling anggun, mengadili tanpa bisa dikorupsi, dan penyampaian paling merdeka dari intervensi.

Dilansir dari wikipedia, penggunaan pseudo name a.k.a nama pena ini sudah ada sejak 1935 dalam buku yang menyajikan eksposisi matematika di Prancis. Jadi kalau dipikir-pikir, ide untuk menggunakan 'fake account' ternyata sudah timbul sejak abad ke-20, ya? 


3. Penawar

Dunia berjalan dengan prinsip dualitas. Layaknya bercermin pada kaca, terkadang yang kamu lihat bukanlah bayanganmu, melainkan bayangan orang lain. Ketika tidak ada sisi yang dapat menampilkan dirimu secara utuh, maka kamu membutuhkan pintu keluar untuk membawamu pada dunia baru, dunia yang dapat mencerminkan dirimu secara utuh. Bukan saja sebagai bayangan, tetapi juga dapat memberi ragamu pengakuan. Memberinya ruang sebagai identitas yang baru. Maka aku perkenalkan, menulis adalah caraku mendapat kehormatan. Melalui aksara, aku mencoba turut memberikan lencana pada satu ruang gelap, paling sempit, dan rumit. Paling transparan namun tak pernah telanjang. Paling tenggelam namun tak pernah kehabisan cara untuk keluar.

Tulisan sebagai media penawar ada banyak jenisnya; menjelma puisi-puisi hitam, sajak-sajak ricuh, opini keras, kata-kata diplomasi, larik-larik yang mengucap syukur atau memuja cipta, dari abstrak yang tegas hingga kajian teori yang membuat mulas. Semua tulisan menawarkan pereda yang berbeda dari setiap lukanya, namun halnya demikian, tujuannya tetap sama, menyelesaikan luka.

Tulisan menurutku seperti lautan sebagai hilir, dan aksara-aksaranya seperti muatan aliran kecil dari hulu. Padanya terkandung semua 'wajah' kita yang sebenarnya. Dari sana, aku yakin tulisan berhasil—memaksa— membuat kita lebih jujur, lebih berani, dan semoga saja, lebih sembuh.

Jangan takut untuk menulis, karena masing-masing dari kita, berhak untuk sembuh.

 



4.      Self branding

Kita pasti pernah mengingat seseorang dengan 'label' identik yang mengikutinya. Kita juga sering mengenal sesorang dari hal-hal menonjol yang ia tampilkan. Nah, taukah teman-teman, bahwa label dan hal menonjol itu muncul akibat perilaku yang biasa disebut dengan 'self branding'. Self branding merupakan usaha dari seseorang yang dilakukan secara kontinu, sehingga menimbulkan dampak labelitas dari publik yang dilekatkan baik secara langsung ataupun tidak langsung pada pelaku. Misal, jika kita sering  mengunggah aktivitas ketika bertanding atau pelatihan dengan tim basket di media sosial, maka kita akan dikenal identik dengan atlet basket. Berkat mudahnya membentuk asumsi publik melalui aktivitas tau pengalaman kita, jadilah terbentu sebuah istilah baru; You are what you show off.

Memperkenalkan diri kita pada khalayak dengan mengabadikan dengan tulisan sangat mungkin dilakukan. Terutama untuk mereka yang memang hobi mengungkapkan segala hal dengan untaian kata. Memperkenalkan karakter penulis melalui tulisan juga sudah sering dilakukan oleh maestro-maestro terdahulu. Dari tulisan-tulisan mereka, kita mengenal berbagai ilmu-ilmu kehidupan dan hikayat perjuangan.

Self branding menjadi ajang yang kerap kali dilakukan terutama oleh khalayak mudah—kaum milenial. Apalagi di era 4.0 ini, menjalankan segala bentuk aktivitas hanya dengan sekali ketukan pada layar ponsel. Hal yang perlu disoroti adalah, dalam menekuni self branding, beberapa hal pantang untuk dilakukan; mengada-ada apa yang tidak ada, hanya sebatas pencitraan—menjual kepentingan banyak orang untuk diri sendiri, meraup sejumlah keuntungan berupa barang atau uang dengan melebih-lebihkan keunggulan diri, dan lain sebagainya. Jangan ya teman, karena hal-hal di atas bisa menyeret kita dalam masalah besar. Baik itu berupa sanksi dari instansi yang bersangkutan, sampai menjadi tahanan! Serem, kan?


5.      Dosh!

Ada yang bertanya-tanya apa itu dosh? Sebuah slang dalam bahasa Inggris yang berarti sejumlah uang. Kaitannya dengan menulis? Jelas ada. Dari kata dosh, kita mengenal berbagai penulis- penulis kondang yang karyanya sudah berkunjung ke negeri tetangga. Bisa dikatakan, bahwa sejumlah uang inilah yang menjadi bukti usaha jerih payah mereka serta 'balasan' atas prestasi mereka dalam berkarya.

Seperti yang sudah kita bahas di poin pertama, menulis sebagai passion juga mempunyai jenjang karir ke depan yang mumpuni. Yaitu menjadi seorang penulis yang pastinya, meraup sejumlah kompensasi dari buku-buku yang diterbitkan. 

Di samping buku, ada juga berita online dan copywriter, berikut content writer serta editor yang bisa dijadikan alternatif pilihan dalam rangka improvisasi dosh. Terutama bagi kaum mahasiswa, nih.

Dengan memproduksi rangkaian kata dari pabrik pemikiran, kita bisa menghasilkan pundi-pundi. Bukan pundi-pundi udara, ya. Bahannya bisa dari mana saja. Kita bisa menyerap segala informasi yang ada di sekitar untuk menggembungkan kantung belanjaan-eh bukan, untuk bisa dibarter dengan uang. Simpel, kan?

Biarpun begitu, menulis bukan cuma pekerjaan asal nguli ya, guys. Kedalaman makna dan gaya bahasa juga sangat memengaruhi produk jadi. Sering banget kan, kita ketemu tulisan yang lancar jaya bawa suatu topik yang berat? Pokok bahasan dapat, pembaca awam juga mengikuti dengan hikmat.

Semua itu perlu proses; pengalaman, ketekunan, kedisiplinan, kerja keras, rasa haus akan pengetahuan, dan selalu rendah diri. Ingat ya, yang instan itu cuma mi!

 

 

Kota Udang dan Bandeng, 12 Agustus 2020.

Share:

Post a Comment

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis