STRONG WHY



Oleh : Aulia Radityasari

 

Kamulah alasannya.. itu adalah kata yang sering banget kita denger di lagu-lagu cinta ya. Tapi seringkali kini, ketika kudengar kata-kata ini dalam lagu, aku tidak memandang kamu sebagai orang yang ada diluar, tetapi kamu sebagai diriku yang sedang berkaca. Kamulah alasan terbesarku, karena kamu berhak untuk ini semua. Dan untuk tulisan ini, dengan semua proses yang akan kulewati nanti adalah untuk diriku sendiri. Supaya aku tidak lupa, aku bisa, aku penting,dan aku berharga. Tulisan ini sebagai pengingat untukku, bahwa tidak peduli seberapa kali aku jatuh, dilecehkan, ditertawakan, disakiti, aku akan selalu menemukan cara untuk bangkit dan berjalan lagi.

Jadi.. muncullah pertanyaan.. Kenapa sih tulisan retjeh begini aja pake di-publish? Maklumin aja ya.. aku lagi belajar nulis. Bukan maksud buat narsis, apalagi bermanis-manis, tapi aku memang suka hal-hal yang berbau dramatis dan melankolis, siapa tau besok-besok jadi pebisnis..plus cerpenis. Aku lagi belajar nulis, bukan mau jadi egois apalagi tambah bengis, tapi karena aku sadar sudah bukan saatnya jadi apatis. Aku nulis, kadang tidak filosofis, apalagi geometris. Maafkan ya.. Aku akan tetap belajar nulis, sampai nanti kisahku finish.

Alasan lain yang muncul kenapa aku mau menulis adalah karena menulis itu tempat curhat paling aman, selain Tuhan. Apalagi yang namanya perempuan, dimana curhat sudah jadi kebutuhan. Katanya, kalo lama gak curhat, bisa jerawatan, bisa juga jadi sawan. Curhat itu seperti minum obat antidepresan. Penting demi menjaga kewarasan. Enak kan? lewat tulisan, curhatan bisa dikaryakan, gapapa dibilang berantakan.. namanya juga masih amatiran. Tapi curhat juga jangan sampai keterusan, pake ngopi segala nge-bakwan.. sampe bisa lupa sama yang namanya cucian. Ajaib ye kan!

Menulis juga membuatku temukan teman  yang baru. Kata guruku, temanmu adalah cerminan dirimu. Pilih teman yang sungguh-sungguh karena mereka bisa membentukmu. Tapi sungguh, aku masih malu kalau harus bersanding dengan mereka itu. Apalah aku ini, yang hanya butiran debu. Ah, tapi mereka itu sama sekali gak belagu, malah aku bisa sambil berguru. Gak pelit ilmu, gak segan untuk membantu. Masih banyak yaa orang yang baiknya begitu. Dari berbagai penjuru, kutemukan mereka satu persatu. Ini sungguh tak mudah untukku, tapi akupun ingin berseru. Tunggu akuuu.. sampai di hari ke 10 nanti kita kan bertemu.

Separuh perjalanan sungguh gak kerasa. Tepat di Hari Raya Adha, aku memilih untuk tetap melanjutkannya. Tiba-tiba  kepalaku pusyiing..kalo kepalamu gimana? Ih, pusing bikin tulisan maksudnya? Bukaan, ini sih kebanyakaan sate gule kayaknya. Nulis mah bikin bahagia. Satu hal yang tadinya tidak kusangka. Menulis itu salah satu hal yang bisa kita lakukan kalau sudah biasa. Kalo dulu kayaknya ribet banget mau nentuin tema, tapi sekarang yang penting enjoy aja. Tema, bahasa, dan idenya bisa apa aja, yang penting harus menarik untuk kubaca. Iya, aku memang tidak bisa seperti pujangga. Ideku remeh dan bahasaku biasa saja. Tak apa lah, yang penting aku harus bisa biasa. Biasa ditolak, dikritik dan dicela juga salah satunya. Gpp.. yang penting, tetep nulis yaaa..

Kadang aku pun bertanya-tanya juga. Nulis itu termasuk golongan obat bukan si? Bisa jadii. Karena buat aku dan sebagian orang, nulis itu jadi semacam terapi. Kalo aku ni, nulis sekarang bisa jadi pelarian di tengah-tengah hari. Sebagai ibu dan juga istri, perlu ada sedikit waktu untuk tetap jadi diri sendiri. Ada yang bilang aktualisasi, ada juga yang bilang ini tuh ambisi pribadi. Tapi dengan begini, setidaknya aku bisa berbagi. Dengan segala dinding yang membatasi, aku tau aku tak sendiri.

Aku nulis juga karena aku merasa belum maksimal pakai otak. Ada penelitian yang bilang kalo manusia kebanyakan hanya menggunakan dua belas persen kapasitas otak. Apakabar akuuu, anggota geng mager alias males geraak? Mungkin gak lebih dari satu persen yang kepake, selebihnya abstrak. Kalo pas tiduran di sebelah anak, tiba tiba mikir.. masak gue kalah ama cicak? Yang diem-diem aja sambil merayap tu cicak. Aku malu padamu cak. Aku yang dapet otak tapi kamu yang banyak gerak. Kamu   diem2 nangkepin nyamuk, aku diem2 udah kayak artefak. Ahh, aku mau gerak. Biar otakku bergejolak. Meskipun autodidak, dan orangnya kaya badak, yang penting nulis aja sampe banyak.

Sampai terkadang, menulis buatku itu seperti  membuang sampah. Tumpukan kenangan buruk yang membuatku jengah. Bukan hanya lelah, tapi hanya akan membuatku bersumpah serapah. Lah, nanti aku salah. Seorang ibu dengan luka yang membuncah, tidak akan melahirkan anak yang bungah. Gimana mau bahagia kalo isinya hanya amarah? Makanya aku harus tetap nyampah. Biar sehat secara pikir dan rohaniah. Kalo tulisanku jelek, biarlah. Yang penting buatku ini istimewaah. Haha.. maksa dikit yah. Ditambah aku masih punya Tuhan alhamdulillah. Kalo gak ada bahu untuk bersandar, tinggal menghampar sajadah. Ahh lengkap sudah.. aku pasti bisaah. 

Kita semua pasti bisa. Apa lagi yang buat aku masih semanguut?? Karena aku merasa menulis itu ilmu yang harus kujemput. Karena merasa masih acakadut, masih sering mbeliut. Semangatnya masih pasang surut, masih sering tepar sambil berselimut. Tapi kan aku sudah berbuntut, aku gak mau terus terusan gabut. Aku juga mau saling bersahut, dengan mereka yang tak pernah bersungut sungut. Ilmu kadang memang bikin cenat cenut, sering juga bikin kalangkabut. Tapi kan aku masih imut, meskipun lebih sering kayak lelembut. Yang penting ilmu ini akan tetap kujemput, meski sampai Cina atau bahkan ke Korut. Lanjuuuut!

Tapi ini sih, my strong why. Dan aku rasa juga alasan terkuat untuk semua ibu. Yap, anakku. Aku mau menulis karena dia, anakku. Kalau sekarang dia belum mengerti, tapi pasti nanti. Biar dia tau, cerita dan kisahku. Maafkan mama Nak, yang tidak pandai berkata-kata. Hanya bisa mencoba menerjemahkan rasa lewat kata. Aku tulis, supaya engkau tahu bagaimana bersyukurnya aku, beruntungnya diriku, memilikimu Nak. Bagaimana kamu mengajariku tentang makna cinta, kekuatan dan kesabaran. Kamu yang menunjukkan didepan mataku bahwa ada maaf yang begitu luas untuk tiap kesalahan. Ini akan menjadi jejak mama, Nak. Bukan untuk kau ikuti, karena aku ingin kau jauh lebih baik daripadaku. Aku tulis ini untukmu.

 

 

 

Tentang penulis :

Aulia Radityasari, seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya membersamai seorang anak balita dirumah. Lahir di Surabaya, 3 September 1987, namun sekarang menetap di Bondowoso karena mengikuti tugas suami. Dia menemukan menulis sebagai penjaga kewarasannya sebagai ibu, dan dia  baru saja menerbitkan 1 buku Antologi bersama kawan-kawannya.  

Share:

1 comment :

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis