Sepuluh Aku Menjadi Picu




Oleh: Fathia Arifa Hasanah

 

Bila Rabbku berkenan, meski kulit telah berkedut, tangan bergetar sampai maut menjemput pun aku mau tetap berkawan dengan aksara. Beberapa dalih ini mungkin juga bisa kamu adopsi, sepuluh alasan mengapa aku ingin terus menulis.


Alasan pertama: sebab tiap kita perlu bicara.

Pernahkah punyai rasa meletup-letup seakan ada lubang besar di dalam dadamu yang tak sengaja tergali kemudian meluber dan menjadi tragedi berkepanjangan? Pernahkah ingin cerita ini-itu tapi hati tak sampai? Ingin berbagi kepala tapi mengatur intonasi serta kecepatan, mulut tak pandai? Pernahkah ingin jujur tapi air mata selalu duluan berderai? Pernahkah?

Banyak orang memilih untuk membuka hati pada anggukan dan kernyitan dahi yang mendengarkan. Aku memilih melalui tulisan. Sebab paling tidak sembilan puluh persen maksud hati tiba dengan selamat tepat pada hatimu. Tanpa perlu aku berkata, "Sebentar, sebentar, maksudku gini loh.. belum selesai."  

Tanpa perlu direka-edit oleh orang ketiga, pemahaman itu tersampaikan.


Alasan kedua : sebab di dunia, segalanya punya batas.

Semua benda diciptakan dengan masa berlaku, bukan? Diakui atau tidak mata ini ada kadaluwarsanya. Jari jemari ini ada kadaluwarsanya. Kemampuan mengkhayal dan berpikir ini ada kadaluwarsanya, begitu kan?

Maka sebelum aku benar-benar buta, sebelum jari ini kaku, dan akal tak lagi dapat diandalkan: mohon tinggalkan jejak yang bermanfaat di dunia. Tapak yang menyantuniku melintas dimensi antara fana dan baka. Begitu saja.


Alasan ketiga: sebagai penyembuh.

Luka yang menggetih darah selama kita dalam proses bertumbuh, nyatanya tak bisa begitu saja lesap oleh waktu. Perlu dirawat dan diobati, dirayu. Supaya tiada terus-terusan bersarang di situ. Bahkan bicara dengan diri sendiri seringkali tidaklah cukup.

Menulis menjadikan kita pelan-pelan mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam. Apa yang koyak, rerak dan retak. Apa yang perlu dilupakan serta dimaafkan. Apa yang mestinya kita abaikan atau justru camkan.

Sebab mati dalam keadaan kebas oleh dendam, sungguh bukanlah jalan hidup yang seberapa indah untuk dipilih. Aku ingin hidup dengan riang hati. Ringan. Puas. Pun layaknya jiwa yang tenang, kelak ingin aku kembali.


Alasan keempat : sebab pikiran terlalu berlimpah isinya.

Adakalanya benakku jadi peraduan aksara dan cuplikan momentum. Saling tindih, satu masa sama minta diperhatikan lebih. Bersesakan antara: tetanyaan yang belum temui jawaban, jejawab yang tak sempat terlisan, tumpukan sibuk satu ke sibukan lain. Rancangan dua ke rencana lain. Penuh waktu tenggat, yang di sela-selanya ada mimpi tergantung meski cuma setengah.

Lewat menulis aku menata ruah pikiranku. Menghadiahi sebuah koma sebagai sekat. Meruntut para ide yang gemar melompat-lompat. Menulis jadikan apa-apa yang penuhi pikiran terlihat mata lebih jernih, untuk kemudian dipilih. Mana yang dilakukan lebih dulu, tidak buru-buru atau justru tak perlu.


Alasan kelima: sebab aku ingin miliki kisah dalam keabadian.

Sebagai kenang-kenangan juga pengingat syukur. Buat sewaktu-waktu ditengok balik saat hidup tengah tersungkur. Ketika segalanya terlalu hambar atau tersimpang siur akibat futur.

Bilakah kenampakan zahir dapat terekam oleh kamera. Namun apa-apa yang batin kita maknai, seringnya hanya sanggup terkenang utuh lewat kata-kata. Jadilah senantiasa kusempatkan mengurai senti per senti rasa, kusematkan sebanyak mungkin fakta dalam aksara. Dengan menulis, suka-deritaku tak tersia-sia.. Aku kaya!


Alasan keenam : sebab aku ingin hidup ditemani ilmu.

Telah mafhum kebanyakan manusia, kapasitas daya ingatnya berbatas. Lezatnya ilmu yang direguk pagi ini, pekan depan mungkin telah lepas.

Sewajarnya Imam besar berkata, "Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya.."

Kita menulis supaya ilmu melekat kuat, hingga akhirnya mau menetap dan bukan minggat. Supaya dalam perbuatan juga makin berbekas, layaknya kerak di gelas sisa seduhan teh bebas ampas. Acapkali pemahaman kita justru kian utuh dan berlipat, saat setiap tutur guru yang teringat diulang catat.


Alasan ketujuh : sebab harus kusampaikan kebenaran.

Tulisan, buku-buku sejatinya tak bisa membangkitkan suatu masyarakat. Begitu pula training motivasi. Faktanya, hal itu hanya menyumbang sebagian kecil perubahan pada kepribadian seseorang.

Tetapi kewajiban tetaplah butuh penunaian, dan menulis adalah hal terpassion yang kumiliki. Paling tidak biarlah aku turut memberi sepersekian perubahan itu. Jika pernah kucintai buku beserta tiap reruas hurufnya, nikmati tiap ejaan maknanya,

syukuri dan jilati kelezatan ilmu daripadanya, berkat seorang penulis menuangkannya. Maka apakah salah bila inginkan pula orang lain begitu terhadap kita?

Menekuri pemahaman baru, mereguk sepersekian perubahan positif melalui wasilah diriku. Bukankah salah satu pahala tiada terputus hingga kiamat ialah ilmu?


Alasan kedelapan: sebab kepada anak-anakku harus kutitipkan nasihat.

Seorang temanku meninggal semasa sekolah dulu, seorang lagi dengan bayi beberapa bulan di rahim.  Sementara hidup menjadi seorang ibu, belum jaminan akan kujelang usia tua melihat mereka tumbuh dewasa.

Layaknya Allah SWT firmankan, 'Khawatirlah engkau meninggalkan di belakangmu anak-anak yang lemah..'

Pada usiaku yang sembilan belas, pernah kubuat surat digital serupa curhat untuk anakku yang kala itu ayahnya pun belum dipastikan jelas siapa. Di dalamnya, terselip beberapa nasihat dan harapanku kala itu. Kini saat anakku telah hadir dan terdefinisi, dorongan untuk mewasiatkan beragam hal,  menceritakan kisahku selama menemaninya dalam pengasuhan makin menjadi-jadi.

Maka lewat tulisan, ada maupun tak hadirnya fisik kuharap tak jadikan mereka alpa akan petuah orang tua.


Alasan kesembilan: sebab kutemukan diriku di kedalaman.

Menulis menyadarkan akan keberadaan aku yang lain, yang selalu berupaya mengambil pelajaran dari tiap peristiwa. Banyak kagum lagi ingin tahu atas dunia. Aku yang menikmati momen kecil sehari-hari, menghubungkan kejadian dengan maklumat yang telah dimiliki. Menyimpulkan, berpikir. Memaknai, merasa. Kemudian menuangkannya kembali. Antara pikir-rasa-buat sering coba-coba bikin koneksi.

Berkat menulis, aku hidup dengan jiwa. Karena menulis, aku merenung saban hari. Sudahkah bermakna? Sudah selaraskah idealisme dengan laku? Penuh manfaatkah hidupku buat dicatat kembali pada buku?

Ataukah sibuk sekadar sibuk, lelah sebatas lelah. Adakah hidup seumpama robot tanpa ruh?

Menulis memotivasi diriku sendiri agar tiap detik yang berdetak, tak hilang cuma-cuma. Supaya tak ada satupun sesal yang tersisa.


Alasan kesepuluh: aku menulis sebagai katarsis.

Layaknya buffer yang menyeimbangkan emosi selama jalani hari-hari, meski baru saja ketumpahan larutan berbuih yang biasa kita sebut galau.

Saat kecewa, marah, dan putus asa penuhi setiap sudut. Membuat pengap jiwa. Aku ingin lekas membuka pintu tapi tak mau seorang pun menunggu di situ. Sebab barangkali ini tak layak diketahui manusia manapun. Dengan menulis, rasa lapang, ringan dan suka hadir perlahan. Mengusir senyawa busuk tadi keluar. Bahkan maki, luka dan protes pun berubah elegan. Memberi jeda untuk memaafkan. Memberi kesempatan buatku istigfar. Mengingatkanku supaya kembali bersih dan segar. 

Sebab hanya untuk lega, aku tak mau cari masalah di dunia nyata. Pun akhirnya, menyakiti balik orang yang pongah tanpa rasa bersalah hanya jadikan kita sama bedebah.

 

Bogor, Agustus 2020

 

Tentang Penulis:

Fathia Arifa Hasanah saat ini sedang menikmati perannya sebagai ibu penuh waktu dari seorang balita yang hobi mengarang lagu. Ia tengah dalam usaha kembali mencintai sastra dan berharap menjadi penulis yang telaten seperti masa-masa sekolah dulu. Mari berdiskusi dan berbagi cerita di  fathiarifa@gmail.comIG: @fathoutloud| www.fathiarifa.com | Sampai jumpa!

 

Share:

17 comments :

  1. Tulisan yg apik yang diracik ala sastrawan muda. Bagus!

    ReplyDelete
  2. Masya Allah! Jadi pengen nulis juga abis baca ini... Semangaaaat

    ReplyDelete
    Replies
    1. ayo nulis, sin! selalu kutunggu-tunggu tulisanmu yg berbobot itu..bikin mikir.

      Delete
  3. Suka bangeeeet sama penyampaiannya. Dan 10 alasan di atas jadi bikin aku makin semangat buat tetep nulis 🤗👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. nuhun udah mampir <3 ofc penulis seproduktif kamu harus tetep nulis dan menginspirasi!!

      Delete
  4. Rangkaian bahasa khas Fathia. Dulu, jamanbjaman kita ngadain acara di kampus,salah satu penampilan yg ditunggu adalah puisi atau narasi karya fathia.. Baarakallah fath.

    ReplyDelete
    Replies
    1. jazakillah khair fit udah mampir <3 doakan menulis sebagai wasilah dakwah ya fiit~

      Delete
  5. Maa syaa Allah, Bogor juga nih kak🤭semangat terus ya kakk✨

    ReplyDelete
  6. Wah.. inspiratif dan memotivasi banget.. goood mba Fatia....

    ReplyDelete
    Replies
    1. alhamdulillah kalau sampai tujuannya, semangat juga mba Diza! nuhun sudah mampir! <3

      Delete
  7. Fath... Terus mengisnpirasi ya Shalihah.

    ReplyDelete
  8. tulisannya ringan, tapi berkesan mantap

    ReplyDelete

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis