SEBUAH SAJAK KEHIDUPAN


Oleh: Tria Ratu Huzaifah

Kadang-kadang aku melirik masa kini dan berandai, sekiranya orang di depanku ini dipanggil Tuhan, akankah ia dikenang? Hakikatnya, kebanyakan manusia mati bahkan tak meninggalkan nama. Setahun masih ditangisi, seabad sudah dilupakan. Pengecualian untuk ia yang rajin menulis. Menulis namanya di silsilah keluarga. Menulis opininya di beranda sosial media. Menulis sejarahnya di benak manusia. Ia yang menulis, akan selalu hidup. Aku memiliki angan, ingin menjadi manusia bermanfaat sepanjang zaman. 
Maka, aku menulis.
Ah, manusia selalu terbiasa berangan setinggi langit meskipun usaha hanya sebatas doa, dan akulah si manusia. Ingin menjadi bermanfaat, kataku? Padahal tulisanku adalah coretan kabur di kertas kusam. Kuintip lagi jurnal demi jurnal yang tintanya luntur itu. Curhatan hati tanggal sekian, keluhan di bulan sekian. Sisa-sisa kenangan yang ditumpuk jadi satu. Tak ada ciri akan jadi harta kata yang bisa mengubah dunia.
"Bogor, 15 Oktober 2018. Aku takut"
Bah! Inikah isinya? Namun demikian, kurasa tulisan saat ini cukup untuk mengubahku. Memori sepatah-dua kata ini cukup untuk mengubahku. Aku menamainya sajak kehidupan agar terkesan puitis meskipun kenyataannya kadang guratan itu tanpa makna. Sedikit unsur romansa pada kata yang kecil dan cuma 5 hurufnya. Kususun kembali nuansa saat seorang teman kesal dan kucatat baik-baik apa yang seharusnya kulakukan. Kutata ruangan hotel tua dan telepon umum rusak. Detail yang tidak penting, tapi menakjubkan  bagaimana sebuah catatan bisa merekonstruksi perasaan kita di masa lalu.
Lalu inilah aku yang sudah berubah. Aku tidak takut seperti tanggal 15 Oktober 2018, tidak menangis seperti tanggal 30 Oktober 2016 di jalanan banjir dan hujan deras, tidak sedang jatuh cinta seperti bulan Juli tahun 2007. Tulisan masih belum mengubahku. Tapi aku tau ada dunia yang sudah berubah. 
Duniaku. 
Duniaku yang kecil dan beriak-riak tak tenang, terombang-ambing, berubah-ubah. Segala badainya direkam, tercatat dalam lembar sajak kehidupan. Hurufnya adalah bintang, pemanduku di masa depan.  Aku sempat menyusur pantai lautan kata yang dahulu kutulisi sembari kutangisi. Rasanya seperti digelitik. Geli. Menertawakan kebodohan di masa lampau, sesekali mengorek pelajaran. Seandainya kisah-kisah konyol ini tak pernah kutulis, akankah aku ingat rasanya? Barangkali tidak, lantaran manusia semakin tua semakin lupa.
Aku menggenggam tulisanku layaknya anak kecil di tangan orang tua. Seburuk-buruknya ia, toh hasil karyaku juga. Ibu tak pernah membenci buah hatinya, dan kubuai tulisan itu agar diam dan aku sendiri yang tau. Lambat laun, suatu hari, tangan itu harus kulepas. Tulisan liar yang sekian lama kumiliki sepenuhnya, akan dibaca orang. Ntah menunggu aku mati, ntah menunggu ia kabur sendiri. Barangkali ada yang mau menyalinnya di buku akhir tahun. Barangkali ada yang mau mengukirnya di batu nisan. Biar orang memilih dan kuharap pilihannya bermanfaat.
Ada juga masa dimana aku yang memilih. Seperti memilih menaikkan sebuah angan absurd bertahun silam ke permukaan. Bucket list, katanya. Cita-cita sederhana ingin makan bersama di hutan pinus. Aku nyaris lupa pernah menorehkan keinginan ini di jurnal lusuh. Nyaris lupa ada daftar hal-hal yang kubayangkan terjadi, kumiliki, kualami. Maka, sebuah tulisan yang mengingatkanku. Sekalimat yang lepas dari tangan dan dilihat orang. Betapa uniknya perasaan yang berkecamuk ketika akhirnya stabilo merah muda tertanda di sana: sudah kulakukan. 
Maka, sebuah tulisan membahagiakanku.
Pada suatu masanya nanti aku ingin gurat-gurat absurd yang kusatukan dalam lembar sajak kehidupan (sekali lagi hanya demi unsur puitis), berlarian bebas lantas bertemu banyak orang dan dibaca. Jika tulisan ini membahagiakanku, akankah ia dapat mencapai hati orang lain dan menyunggingkan senyum di wajah mereka? 
Pada suatu masanya nanti, aku harap tokoh-tokoh khayalan yang kunamakan Sarah, Farzan, Mimi, siapapun mereka, berkenalan dengan wajah baru. Diajak bercengkerama dengan segelas teh hangat atau kopi pahit. Atau berbisik-bisik dalam gelap dan naungan senter di balik selimut, karena seharusnya pukul sekian mata si kawan baru sudah terlelap. Dijadikan teman perjalanan dalam kereta dan perahu. Digarisbawahi kata-kata mutiaranya dengan pena merah, ditandai dengan pembatas buku magnet kucing lucu. 
Barangkali, bukan cuma aku yang dibuat bahagia. Barangkali ketika orang-orang membuka lembaran itu mereka seolah menatap langit yang biru dan luas dan penuh dengan misteri. Barangkali ada sekuntum bunga yang merekah dan menebarkan warna warni dunia, tepat dari sejilid buku atau dua. Seperti perasaanku tiap kali membalik halaman yang ditumbuhi prosa dan permainan kata. Perasaan bahagia. Bukankah meciptakan senyum di sudut bibir manusia adalah kebermanfaatan?
Kupikir akan luar biasa sekali jika ada yang melewatkan semenit hingga 2 hari untuk meniti jalinan kata yang kita susun sendiri. Mengetahui bahwa isi kepala kita kini terbentuk di kepala orang lain. Ya, kan? Isi kepala yang bertumpuk-tumpuk dan berhias imajinasi dan menembus ruang ingatan sosok baru. Ide-ide yang kemudian mengalir dan bermuara, diambil alih oleh para eksekutor dan diwujudkan. Sebuah tulisan. Maka, menulis adalah sarana menyelusup ke dalam rekan umat manusia.  Aku ingat, ada begitu banyak pola pikir penulis lain yang kusimpan di kotak-kotak memoriku. Memengaruhi hidupku. Membuatku ingin menjadi lebih baik dan lebih menikmatinya. Sebab sebuah tulisan. Sebab sebuah kumpulan sajak kehidupan bisa menjadi banyak hal. Pemandu, pelawak, penyemangat, penyalur, penyimpan kenangan, dan aku yakin masih banyak lagi. Tinta-tinta yang sudah kering dan huruf-huruf yang berbaris rapi. 
Akhirnya, aku menatap lagi masa kini dan orang di hadapanku. Mungkin dia tak akan mati karena sedikit tentangnya sudah kutulis dalam catatan ini. Ia sudah kukenang dan ia abadi. Semoga angan kebermanfaatan sepanjang zaman pun terwujud selanjutnya. Semoga ia membawa banyak hal baik. Semoga. 
Maka, aku menulis.

Share:

23 comments :

  1. Maasyaallah.
    Terima kasih atas tulisannya. Tulisan ini menggelitik jari-jari saya untuk segera menarikan tarian isi hati. Sangat memotivasi saya untuk menulis lagi. Terima kasih. Semangat menulis dan menebar kebermanfaatan!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah membaca. Senang rasanya bisa bermanfaat :)

      Delete
  2. rupanya ada tersimpan mutiara talenta dalam diri putri papa yang selama ini tersimpan tak pernah terdeteksi oleh papa.Mungkin salah satu sosok yang ada dlm cerita itu adalah papa orngnya. Teruslah berkarya, doa papa selalu menyertaimu, anakku.

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. Hahahaaa. Terima kasih sudah mampir ya, teman rahasia

      Delete
  4. Menulis terus, karena tulisanmu akan hidup sepanjang masa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul banget. Terima kasih sudah mampir dan membaca ^^

      Delete
  5. MasyaALlah.. tulisannya menumbuhkan minat untuk nulis jugaa. makasih kakak. Semoga Allah bimbing ke depannya, ditunggu karyanya 😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah. Aamiin ya Rabb. Ditunggu tulisannya juga kak hehehe

      Delete
  6. MasyaAllah tabarakallah adek, lagi dan lagi ini membuat kakak semakin termotivasi untuk menulis~ semoga terus menjadi inspiring people dekquwh 💕

    ReplyDelete
  7. Mantap, terus berkarya Mba Tria 😍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Meg. Menunggu tulisan Mega juga niih

      Delete
  8. MaasyaAllah Tabarokallah, keren Mbak, semangat terus

    ReplyDelete

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis