Oleh : Restu Asriana
Sebab ruang nulis mengetuk kotak pandora, yang kupikir tak dibuka pun tak apa. Sebab menulisku adalah detak, tanpa diperintah pun ia akan terus berdetak sesukanya, tanpa perlu apa dan kenapa.
Pandoraku, adalah harapan tentang sebuah perubahan bagi jejak peradaban, tentang kata yang mengeratkan kasih sayang dan cinta, tentang jembatan yang menghubungkan jiwa manusia.
- Sebab menulis adalah rindu.
Kau tahu kawan, sebenarnya setiap penulis adalah pembaca.
Ia membaca senja, lalu menuliskan matahari yang tenggelam sebagai latar peristiwa, entah itu pertemuan pertama, atau perpisahan terakhir.
Ia membaca malam, bintang - bintang disebutnya cahaya, harapan.
Ia menyesap aroma pagi, menuliskannya sebagai hari baru, menyemangati jiwa yang sudah terlanjur lelah seawal ini.
Lalu ....
Menulis hadir sebagai rupa - rupa kerinduan, jika apa yang kubaca tak kutuliskan maka berkaratlah rindu itu, menyiksa.
Aku harus menuliskannya, agar lega.
-Sebab menulis adalah ruang luas.
Bukankah kadang hari terasa begitu sempit ?
Rutinitas semakin menghimpit.
Semakin dewasa rasanya semakin hilang kuasa atas diri sendiri.
Kewajiban bertambah, yah memang sudah lumrah.
Tapi, jika kau perlu ruang luas, saat nafas tak berjejak dan bisa kau hembus lepas, menulislah.
Menulis seperti membangun ruang sendiri, dengan tembok transparan tapi tinggi, melindungi.
Meruntuhkan dunia sempit kita.
Bagaimana bisa begitu ? Karena saat menulis akhirnya kita banyak berpikir tentang hal lama yang menyimpan kenangan indah, atau mungkin berpacu cepat dengan hal baru, menemukan sudut pandang berbeda.
Selamat menulis kawan.
Ah, maksudku selamat, karena menulislah yang menyelamatkan kita.
-Sebab menulis adalah jembatan
Banyak sekali kalimat yang lebih ringan ketika dituliskan daripada saat diucapkan.
Yang sulit disampaikan lisan, tapi begitu lancar kususun jadi paragraf panjang di selembar kertas.
Maka kusebut tulisan sebagai jembatan.
Ia menghubungkanku dengan banyak hati.
Menyampaikan rasa sayang, sedih, senang, gundah, marah, hebat sekali ketika barisan huruf itu bercerita.
*dan kami (aku dan suami) dulu berkirim surat saat masih berteman, menyenangkan saat membuka kotak berisi setumpuk surat itu sekarang.
-Sebab menulis adalah rezeki
Sebuah pemikiran, hikmah, puisi, kata-kata indah, cerita, bukan sesuatu yang ujug-ujug tanpa sebab menempel begitu saja dibenak kita.
Semuanya aku percaya selalu punya alasan.Sungguh Maha Kuasa Tuhan yang mengatur hingga soal kapan tinta akan bertemu kertasnya, pemikiran bertemu dengan penulisnya.
Itu kenapa aku berkhidmat untuk terus menulis, sebab apa-apa yang dititipkan, beberapa memang sepantasnya tidak kunikmati sendiri.
Ia adalah rezeki, yang ajaib sekali, semakin dibagi, semakin tiada habisnya, bergulung menjadi gunung, terhampar menjadi samudra.
-Sebab menulis adalah kepuasan.
Sama seperti menuntaskan sebuah buku, seperti setelah membacakan sebuah puisi.
Puas.
Setiap menyelesaikan serangkaian paragraf, jemari terasa lebih ringan, ia ingin lagi dan lagi meneruskan tarian di kertas-kertas usang, atau pada layar berdentam-dentam.
Beberapa yang kupikirkan, menyembul berebutan, ingin segera ambil bagian.
Setelah ia berjejer rapi dalam tulisan, dibaca berulang-ulang, dipoles lagi disana-sini, sungguh inilah kepuasan.
-Sebab menulis adalah pintu.
Dari sebuah pena, ia menghubungkan penulis kedunia mana saja ia mau.
Dari baris yang diabadikan tinta, ia mampu mengajakku berlari menyeru dunia baru.
Ajaib, yang lebih ajaib dari Pintu Kemana Saja milik Doraemon dan Nobita.
Menuliskan sajak cinta, pintuku berbunga.
Menuliskan narasi kesedihan, pintuku berawan kelabu.
Menulis kenangan gerobak tua pengangkut es limun jualan kita, ada senyum bijakmu menggantung dipintuku Yah, entah sejak kapan.
-Sebab menulis adalah energi
Energi adalah daya/ kekuatan yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai proses kegiatan.
Dalam ilmu fisika begitu bunyinya.
Aaa tapi saya tidak sedang ingin membahas soal hukum kekekalan energi, energi kinetik, energi potensial dan sejenisnya (tenang saja).
Ini masih tentang menulis.
Hebat sekali ketika sebuah tulisan menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu.
Menyemangati yang sedang terpuruk, menjaga kerendahan hati bagi yang sedang dipuncak.
Saya menulis sebab pernah merasakan hebatnya energi dari sebuah tulisan.
Berkhidmat agar setiap tulisan saya juga memiliki energi baik yang memeluk keresahan jiwa pembaca, mengobati luka, atau mungkin sekedar menyejukkan sore yang terlalu terik.
Dulu, meski bukan dulu sekali, aku percaya bahwa menulis adalah obat.
Merambah kata demi kata yang mengajakku mengembara, meninggalkan sejenak sekitarku.
Tenggelam dalam bisu yang ramai.
Menyembuhkan luka yang menganga.
Lalu semakin kesini, menulis seperti pesona seorang pecinta, kadang saat atas nama waktu kutinggalkan dia maka rindu datang tanpa sungkan, membuatku menemukan sela meski larut malam.
- Sebab menulis adalah habitat.
Tempat hidup dan menikmati setiap detak peradaban dengan cara yang berbeda.
Tidak sekedar lahir, menua, beranak, berkenalan, perpisahan.
Ini tentang menciptakan tanah untuk penerus, bahwa pendahulunya telah merekam jejak setiap yang sulit digambarkan jika lewat potret, mengisahkan waktu yang telah lalu, menghadiahkan tempat paling nyaman untukmu menyusur kenangan nak.
Menulis, kegiatan ajaib tentang "menciptakan" (merangkum cuaca, peristiwa, manusia, menjadi kata)
-Sebab menulis adalah jejak
Hari ke 10, sebab ke 10.
Jejak ke 10.
Sebab menulislah yang memberi jejak untuk pernah adanya aku.
Jejak yang merekam apa yang telah kau ceritakan tentang matahari bercincin, bumi yang tak lagi punya musim, senyum yang sekarang hanya terekam lewat mata, separuh muka ditutup wabah.
Jejak yang memeluk setiap kejadian, menjadi rangkaian kata yang abadi.
Abadi bagi yang mengenang, pun yang dikenang.
Selamat berkenalan kawan, dengan tulisan-tulisanku yang berkekalan.
Tentang Penulis
Aku menemukan diriku di tumpukan buku-buku usang, di ruang perpustakaan tua yang alakadarnya, ada bau kecing tikus bercampur rayap disana. Tapi gadis kecil bernama Restu Asriana itu begitu bergembira, sepertinya dia telah menemukan rumahnya.
Usia baru 5 di 1995.
Melesat ke 25 tahun berikutnya potret itu tidak banyak berubah, hanya saja sekarang bukan hanya matanya tapi juga tangannya semakin lincah, katanya perubahan, jejak peradaban yang lebih baik ada ditangannya, ditangan ibu-ibu muda yang peduli tidak hanya soal nasi untuk anak, tapi juga memberikan buku untuk makanan jiwanya.
Post a Comment