KESEMPATAN KEDUA


                

Mikawati Ismail

 

Setengah perjalan kutempuh sudah. Letih dan lelah terabaikan, semuanya mengalir dengan indah. Hanya saja semua berubah, kala satu persatu orang-orang terkasih harus terpisah. Letih menjadi semakin perih, lelah mengarah kepada luka. Karena aku terbiasa bersama mereka, tempat terindahku tuk berbagi beban.

Ada banyak alasn tentang sebuah perpisahab sebuah kematian yang sudah ditetapkan, ada kisah melanjutkan episode baru dalam kehidupan yang menjadi alasan kalian tak bisa disisiku lagi. Ada banyak perpisahan yang membuat aku kehilangan pegangan. Aku pasti tak akan mampu bertahan, apalagi melanjutkan perjalan. Ah …,

Dua dasawarsa berada dalam sebuah komunitas yang stabil, terbelenggu dalan rutinitas, melahirkan kejenuhan, itu pasti. Berjalan di sebuah jalanan datar tanpa tanjakan atau belokan, bagiku yang penyuka pegunungan menjadikan diri enggan menatap esok hari.

Bukan berarti dijalanan datar itu aku aman dan nyaman. Namun, aku selalu ketakutan. Takut berpapasan dengan Miss Julid dan Mrs. Nyinyir yang bukan hanya sekali dua kali menyapa dengan lidah belatinya. Padahal aku sudah cukup berusaha berlindung di dalam guaku sendiri, tapi tetap saja mereka suka menyapa dan berjejak luka.

Dulu saat SMA, aku mulai jatuh hati pada semua karya Shidney Sheldon, dan mejadikanku mengagumi penulisnya. Aku tidak pernah bermimpi tuk menjadi sepertinya, hanya berani menyebut namanya saja sudah bahagia. Membaca setiap karyanya yang menggambarkan pergulatan wanita tangguh, menggerakkan hatiku untuk membuktikan apa yang diucapkannya,

"Saya suka menulis tentang perempuan yang berbakat dan cakap, tetapi yang terpenting, tetap mempertahankan keperempuanan mereka. Perempuan memiliki kekuatan yang luar biasa - keperempuanan mereka, karena lelaki tidak dapat tahan menghadapinya." (Sidney Sheldon-1982)

Dalam sepi kehilangan orang terkasih, dalam gundah ditingkah nyata membawa luka. Sesosok ceria menyapa setia, "Anyeong Eonnie" dia hadir hapus air mataku, tulus tanpa memandang beda. Gadis pecinta petrichor itu menggenggamku, menemani waktu hujanku, meyakinkanku bahwa petrichor itu nikmat, bahkan terkadang pelangi hadir selepas hujan.

Tangannya menguatkanku, menggandengku menikmati senja bersama, melewati pekat malam dalam tawa. Bersamanya aku masuk ke dunia yang penuh euphoria, adalah Utophia. Lalu di Utophia aku tersesat dalam nyaman, terkadang enggan kembali ke nyata. Bisikan penguatmu, "Ayo, Eonnie kamu bisa jadi chakkanim (penulis) yang hebat!" Membuatku selalu punya keberanian tuk menulis.

Tersesat dalam Utophia, aku mengenal mereka BTS. Tujuh sosok mengagumkan. Dari mereka aku belajar banyak hal, tentang disiplin, komitmen, tanggung jawab serta kerja keras. Dan aku tau mereka bekerja sangat keras, tuk sampai di sana, puncak yang membuat orang kagum tapi banyak yang iri juga.

Pada titik terendah, aku mendengar bisikan "Gwenchana" yang sangat menyejukkan. Lalu mereka selalu mengatakan, "to love myself". Ya, aku sadar, kalau bukan diri sendiri, lalu mengharap siapa? Mereka juga menyemangati, "to speak yourself". Dan dengan menulis aku beranikan diri menyuarakan semua hal tentang diriku.

Bagiku hidup adalah perjalanan. Ada cerita di tiap lembar hari- harinya. Tawa dan duka silih berganti mewarnai perjalanan panjang ini. Pernah kumemaknai cerita sedih sebagai lembar hitam yang ingin kuingkari dan hanya cerita bahagia saja yang boleh bertahta di ruang kenang diri.

Namun, seiring berjalannya sang waktu aku mulai memaknai semua peristiwa adalah sebuah proses pembelajaran, berkali-kali terluka membuat kita siap dan kuat. Dan kini akan kubingkai semua kenangan itu, kelak akan selalu tersenyum saat membacanya lagi.

Menulis, membuatku berani membuka kotak pandora lama dan menjadikannya karya.

Alhamdulillah, dalam perjalananku yang cukup panjang ini, aku menyadari bahwa setiap individu perlu sesuatu yang biasa kusebut dengan "me time". Beberapa menit yang sangat fokus untuk diri sendiri, sebagai wujud apresasi terhadap diri sendiri.

Aku terbiasa menghadiahi diri minimal satu jam di tiap hariku, untuk menjadi diriku sendiri. Dan biasanya aku menikmatinya dengan melakukan hal-hal yang paling kusuka, yang biasa kita sebut hobi. Salah satu hobi yang setahun terakhir ini sedang membahagiakanku adalah menulis. Di situ aku belajar, berkawan dan berkarya. Lalu aku kini menulis sudah menjadi candu bagiku.

"Jika engkau ingin mengenal dunia, maka membacalah. Namun, jika engkau ingin dikenal dunia, maka menuliaslah." (Pramoedya Anantatur)

Sebuah petikan pesan yang baru kudengar setahun terakhir ini, tapi mampu menggerakkan hati dan pikirku. "Ah, benar juga." Sampai saat ini siapa yang akan mengenangku kalau tiba waktuku kembali kepada Sang Pencipta. Bahkan di mesin pencarian pun tak akan ditemukan bila menggunakan kata kunci namaku. Hemn ...,

Lalu aku mulai menulis, untuk meninggalkan jejak. Kelak di masa yang akan datang. Saat tiba waktunya aku harus meninggalkan semua kenangan, aku berharap ada pengingat tentangku.

"I believe that lfe give us second chance, or even two.

And when we come to God, we can't run out of second chances

But, a second chance doesn't mean anything if you didn't learn from your first"

 (Second Chance)

Aku sangat yakin, bahwa setiap orang berhak memiliki kesempatan kedua. Tidak peduli siapa dirimu, bagaimana dirimu di masa lalu, selama tetap berusaha dan tidak menyerah pasti ada waktunya.

Seperti aku mengenal sosok luar biasa J.K. Rowling yang bisa kuat bertahan dan membuktikan. Dan bagiku menulis adalah sebuah anugerah kesempatan kedua yang akan kugenggam erat untuk pembuktian.

"When life offers you a dream so far beyond any of your expectations, it's not reasonable to grieve when it comes to an end."

— Stephenie Meyer

Jujur, aku adalah seorang pemimpi yang handal, hidup di duniaku sendiri sudah menjadi bagian terindah dalam hidupku. Pena dan kertas adalah alat tuk menghadirkan tokoh-tokoh yang aku mau dan aku hidupkan mereka dalam sketsa baru sesuai mimpiku.

Lalu aku mengenal Stephenie Meyer yang mampu menunggangi mimpinya, mencipta dunia lain yang begitu hidup dan membuat penikmatnya terbawa, dan enggan berpaling darinya. Aku terpesona, dunianya membuatku menjadi lebih berani bermimpi, tuk mencipta panggungku sendiri.

Aku bahagia memiliki kesempatan keduaku, membuka kotak pandoraku, bermimpi dan tersesat dalam Utopia, sebuah dunia tempatku sembunyi yang nyaman. Tempat baru dimana aku bisa mencurahkan cerita suka dan duka dari hari ke hari yang rela mendengar tanpa bersuara adalah menulis

***

 


Mikawati Ismail lahir di Surabaya, Ibu dari dua orang putra ini, adalah penggemar berat Sidney Sheldon. Kesibukannya adalah bekerja. Membaca, menulis, menonton drama Korea adalah hobi wanita pengagum BTS dan pecinta warna cokelat ini. Penulis sedang dalam tahap belajar merajut mimpinya yang tertunda. Penulis menggunakan akun @mikawati_ismail di media sosial.

 

 

Share:

1 comment :

  1. Keren balutan isi hati dan ide cemerlang dalam bingkai cerita. Teruslah berkarya. .

    ReplyDelete

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis