Menulis untuk Menyembuhkan



Oleh : Anggita Ramani

Semuanya berawal dari luka. Di dalamnya ada banyak kata yang tak bisa diungkapkan begitu saja lewat lisan. Sebab saat menjadi dewasa, banyak sekali yang harus dijaga selain perasaanku sendiri. Namun, semakin lama ada rasa sesak ketika luka itu dibiarkan terpendam dalam diam. Aku membutuhkan tempat lain untuk segera menumpahkan segala rasa tentang luka agar hatiku bisa segera berdamai dan sembuh.

Aku mulai menulis. Lewat tulisan aku bisa menyalurkan rasa luka yang biasanya hanya mampu keluar dalam bentuk tangisan, menjadi rangkaian kata yang nantinya bisa kukenang sebagai memoar rasa. Sekali menulis, aku masih belum biasa menerjemahkan apa yang aku rasakan atau apa yang aku ingin ungkapkan ke dalam rangkaian kata. Dua - tiga kali menulis aku mulai merasakan sebuah kedamaian usai menghempaskan semua perasaanku ke dalaam sebuah tulisan.

Ada sensasi rasa lega tiap kali aku selesai menulis apa yang aku rasakan atau sekedar apa yang ingin aku ceritakan lewat tulisan. Zona nyaman mulai menyapaku, menarikku ke dalam buaian kata yang selalu ingin dirangkai menjadi kalimat. Hatiku yang dulu terlalu penuh dengan racun kehidupan, perlahan mulai mengubah racun-racun itu menjadi sebuah semangat.

Terkadang ada satu atau dua orang yang mengaku tengah merasakan hal yang sama dengan apa yang aku tulis, saat aku mengunggahnya ke media sosial. Diskusi kecil tentang rasa itu pun terjadi di antara aku dan orang-orang tersebut. Tak jarang aku sering mendapat teman baru dengan nasib yang hampir sama.

Hal itu membuatku semakin semangat untuk menulis. Lewat tulisan, semesta pun beresonansi, menggetarkan semua perasaan yang sama, dan mempertemukan kami lewat rangkaian kata. Ada rasa damai ketika tahu bahwa bukan aku saja yang mengalami badai kehidupan.

Pernah suatu ketika, ada notifikasi surel dari seseorang yang tak aku kenal. Ternyata dia salah satu pembaca tulisanku di blog. Aku membaca perlahan kata demi kata yang ia kirimkan padaku. Tak terasa tetesan air mata mulai turun, membasahi kedua pipiku.

Surel tersebut menceritakan seseorang yang hampir saja bunuh diri kalau saja tak bertemu dengan blogku. Dia pikir hanya dia saja yang mempunyai nasib buruk di dunia ini. Padahal, sebenarnya mungkin banyak orang yang bernasib sama, hanya saja mereka tak menuliskan ceritanya. Singkat cerita si pengirim surel ini sekarang sudah menemukan bahagianya.

Terlepas dari orang lain yang pernah terselamatkan oleh tulisanku. Aku pun juga sering diselamatkan oleh tulisanku, saat aku mulai kembali menyerah. Membaca kembali tulisan lama yang ditulis saat kondisi putus asa, menimbulkan rasa syukur pernah bertahan dan melewati itu semua.

Tulisan yang menjadi bukti bahwa aku pernah menjadi tangguh dalam menghadapi badai kehidupan. Tulisan yang menjadi penyemangat di saat iman melemah dan merasa paling tidak beruntung sedunia. Tulisan yang menjadi saksiku dalam bertahan hidup. Sebuah memoar titik balik kehidupan yang abadi di dalam tulisan.

Selain menjadi sebuah memoar, tulisan juga menjadi ruang untuk berpikir bagiku. Terkadang ada banyak sekali pemikiran unik yang melintas begitu saja di dalam pikiranku. Sayang jika tak dituangkan ke dalam tulisan, agar aku bisa lebih mengenal serta memahami diriku sendiri.
Terlebih lagi, banyak sekali isu di sekitar yang menarik untuk diabadikan dalam sebuah tulisan. Sebagai seorang perempuan, terkadang aku tak memiliki ruang untuk berbicara lebih. Maka, menulis adalah salah satu jalan untuk menyuarakan apa yang tidak sempat aku suarakan secara langsung.

Menulis juga bisa menjadi jalan untuk menemukan diri sendiri. Sadar atau tidak, saat menulis kadang aku membawa diriku masuk ke dalam salah satu tokoh cerita atau sudut pandang tulisan. Saat itulah, aku selalu menemukan hal lain tentang diriku saat bereaksi terhadap suatu kondisi yang aku buat sendiri di tulisanku. Tak jarang, banyak yang salah mengartikan tulisan fiksi yang aku buat adalah kisah nyata yang sedang aku alami. Padahal aku hanya sedikit memasukkan reaksi emosi yang aku rasakan.

Ada satu hal menarik yang entah aku sendiri yang merasakan atau mungkin orang lain juga. Percaya atau tidak, adegan cerita di dalam tulisanku sering menjadi kenyataan di dunia nyata. Cerita yang aku tulis sendiri tak jarang menjadi kenyataan, seperti sebuah doa yang dikabulkan oleh Sang Pencipta. Maka, saat aku merasa semesta tak mendukung mimpi dan harapanku, aku selalu menuangkan mimpi dan harapan itu ke dalam tulisan. Di dalam setiap tulisan yang aku buat, selalu terselip doa agar apa yang baik di situ bisa menjadi kenyataan.

Banyak hal yang telah aku ceritakan tentang alasanku menulis. Alasan utama aku menulis adalah untuk menyembuhkan luka di dalam diriku. Bagiku, menulis bisa memberiku ruang untuk menumpahkan emosi yang sudah lama tertahan.

Sebenarnya banyak cara untuk menyembuhkan luka di jiwa. Namun, menulis seperti sudah menjadi sugesti akan ada suatu rasa damai dan lega di pikiran, jiwa, dan ragaku setelah menulis. Bagi diriku, menulis adalah bagian dari proses penyembuhan luka batin. Lewat tulisan aku bisa bercerita lebih dalam tentang apa yang sebenarnya aku rasakan, dibandingkan secara lisan.

Rangkaian kata yang awalnya hanya sekadar aku susun sebagai pelampiasan luka, kini menjadi mantra di kala aku sedang tidak baik-baik saja. Begitu dahsyat efek menulis bagi kesehatan jiwa dan ragaku hingga mengantarkanku menjadi pribadi yang lebih ikhlas, sabar, dan bersyukur.



BIODATA PENULIS

Penulis yang memiliki nama pena Anggita Ramani ini berasal dari kota Surabaya. Saat ini penulis menikmati kesibukan sebagai IRT dan aktif sebagai blogger di www.anggitaramani.com   Penulis pernah menulis novel berjudul "Edelweiss di Jendela" (2017), Buku KEMENRISTEK DIKTI "Citarum Harum" (2019), dll.. Penulis bisa dihubungi melalui akun instagram @anggitarkwardani dan @ramanibercerita.

Share:

Post a Comment

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis