Oleh: Syifa Fauziyyah
Bismillahirrahmanirrahim
Berbicara adalah anugerah dari Tuhan. Dengannya kita bisa saling terhubung, saling mengerti, dan berkomunikasi. Seringkali, berbicara menjadi hal yang sungguh asik, terlebih jika orang-orang yang berbicara dapat menjadi partner yang "tektok" satu dengan yang lain.
Berbeda dengan mereka yang berbicara sekadarnya. Bukannya mereka tidak bisa, hanya saja tidak terbiasa untuk berekspresi dengan wicara. Aku menilai diriku sendiri bukanlah orang yang begitu terampil bermain kata saat berbicara. Kerap kali lawan bicaraku perlu waktu untuk mencerna apa yang aku katakan. Itu mengapa, aku memilih untuk bermain kata dengan tulisan. Di sini, aku lebih leluasa untuk menyampaikan apa yang hendak aku kata.
Bermula dari sebuah keputusan untuk "menulis saja", selanjutnya benih itu sudah bermula menjadi tunas. Tunas itu adalah sebuah rasa nyaman tanpa beban. Entah, rasanya suka saja saat menulis. Oh ya, menulis itu bukan hanya harus membuat sebuah karya yang wow ya. Mengapa? Sebab aku memulainya dengan hal sederhana. Aku memulai dari membuat pesan singkat, pesan pengingat dan sejenisnya. Bukankah itu juga menulis?Saat benih itu bertumbuh menjadi tunas yang membuat nyaman, Insya Allah buah yang dihasilkan pun kelak adalah buah yang telah mendapat restu dari Tuhan dan dari diri kita sendiri. Buah tanpa beban.
Saat benih telah menjadi tunas, sudah pasti pemiliknya ingin ia kian berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar. Sama seperti alasan aku menulis. Bermula dari menulis pesan pengingat, kemudian aku beranjak untuk mewarnai instagram pribadi dengan caption-caption. Tentu dari sana aku belajar "menulis tergantung kondisi", maksudnya aku harus tahu bagaimana menempatkan jenis tulisan dengan benar, cara menyusun kata penggugah, dan bahkan bagaimana ia bisa didukung dengan gambar yang meresap jiwa.
Pada intinya, aku ingin berkembang melalui tulisan. Menjadi dewasa karena banyak membaca. Bukan hanya membaca buku berkata tetapi juga membaca buku kehidupan. Bukankah untuk menulis kita juga perlu membaca?.
Banyak orang berkata, kalau wanita banyak omongnya. Itu mengapa wanita suka sekali untuk curhat dan didengarkan. Tapi, sudah ku bilang sebelumnya, aku tidak begitu mampu untuk berkata dalam wicara. Itu mengapa aku menulis. Menulis menjadi wadah untuk menyalurkan kerumitan pikiran bahkan juga untuk berbagi pengalaman. Terkadang dengan disadari juga bertujuan menyentil orang-orang agar tersadar. Menulis sebisa mungkin untuk bermanfaat bukan hanya sekadar curhat yang tidak bermanfaat.
Bisa dibilang aku adalah tipe orang pemikir dan pengamat. Entah mengapa, rasanya suka saja mengamati banyak hal. Lagi-lagi sudah ku bilang, aku tak begitu mahir untuk berbicara. Maka dengan menulis aku berusaha untuk membereskan semuanya. Saat aku melihat sebuah benda semisal gelas, imajinasiku seakan menggedor. Ia mendorong diri ini untuk mencipta sebuah narasi yang indah dan bercerita tentang sebuah gelas, bukan hanya "ini adalah gelas", melainkan dapat berupa "Wadah ini sungguh manis, ia digunakan saat mentari mulai tersenyum hingga terlelap". Menulis adalah wadahku untuk berimajinasi dan belajar mencipta narasi.
Aku sepakat dengan pendapat salah seorang kawanku pada beberapa waktu yang lalu, ia mengatakan "kok kebanyakan lomba menulis ya?". Pada saat itu dia yang memulai untuk mengeksekusi statement itu dengan mengikuti lomba essay. Aku? Pada saat itu aku belum bisa melepaskan belenggu yang ada pada diri.
Selang beberapa waktu (aku lupa persis selisihnya), aku pun mulai untuk memberanikan diri mengikuti salah satu program nulis bareng dari salah satu kelompok menulis. Hingga hari itu terproklamirkan "i dare to compete!". Aku mulai menulis untuk mengasah jiwa kompetisi guna mengetahui seberapa jauh dan seberapa mampu diri.
Tuhan ciptakan jalan kehidupan manusia yang berbeda-beda. Semua mempunyai jalurnya masing-masing. Lalu kenapa? Gini, aku punya salah satu motto "inspire your self with inspiring things to inspire other people". Gimana caranya? Ya menulis. Dengan menulis aku bisa mengekspresikan apa yang aku rasakan sekaligus berbagi cerita pengalaman hidup yang Tuhan titipkan kepadaku, yang barangkali sedang dibutuhkan oleh orang lain. Dalam hidup, masalah-masalah yang datang sama, hanya saja jalan keluar yang ditempuh terkadang berbeda. Menulis menjadi wadah untuk itu – berbagi jalan keluar.
Kisah itu dimulai dari SMA, saat sebuah video penggugah jiwa memperkenalkan aku dengan "menulis". Sebuah video sederhana, di mana aku dan teman-teman diminta untuk menulis mimpi pada secarik kertas. Berawal dari menulis mimpi, dari sanalah tertulis sebuah mimpi "penulis".
Kertas itu membersamai hari-hari. Ia bertengger seakan mengingati "hai aku di sini". Ia mengingati pada salah satu mimpi, jika ingin menjadi penulis maka menulislah. Alasan aku tetap menulis adalah berusaha untuk menunaikan apa yang telah aku tulis.
Bersamaan dengan itikadku untuk menulis, di sana aku pula mulai bercengkrama dengan sesuatu bernama ISBN. Jujur, aku sangat ingin dan penasaran untuk mendapatkan nomor seri itu selama ini. Kemudian aku memasang target untuk bisa memeroleh dirinya.
Hingga pada suatu kesempatan, aku bergandeng dengan salah satu wadah menulis yang Tuhan tunjukkan. Kemudian naskahku diterima, meski bermula pada sebuah nama – antologi. Buku pertamaku bersama teman-teman kemudian terbit. Alhamdulillah target yang selama ini didamba, dapat pula jua tangan memeluk. Buku ber-ISBN.
Salah satu alasan dan support system aku untuk dan tetap menulis adalah sejarah. Di kampus, aku diajari betapa pentingnya tulisan dalam sejarah. Tulisan menjadi salah satu sumber tertinggi (sumber primer) dalam sejarah. Ia menjadi bukti bahwa dahulu pernah ada suatu peristiwa.
Untuk itu, aku menyadari pentingnya menulis. Bukan hanya itu, melainkan betapa pentingnya melestarikan tulisan itu. Salah satunya dengan mengabadikannya dalam buku. "Meskipun aku belajar sejarah, menjadi penulis dan penerjemah adalah cita-citaku. Sejarah telah mengajarkanku tentang pentingnya tulisan, juga mengajarkanku untuk menjadi seseorang yang dapat dikenang dengan tulisan." (Syifa Fauziyyah).
Jakarta, 7 Agustus 2020
Tentang Penulis:
Syifa Fauziyyah bisa juga dipanggil Fei, merupakan wanita yang terlahir dari orang tua berdarah Jakarta. Dirinya yang memilih sebagai seorang mahasiswi sejarah tidak menyurutkan semangat untuk mengejar cinta lamanya yaitu menjadi seorang poliglot. Di samping itu, ia juga menaruh cinta pada dunia kepenulisan. Menjadi penulis adalah satu dari sekian cita-citanya.
Barakallah Syifaa😍
ReplyDeleteTerima kasih Wika sudah mampir ^^
DeleteHai, kak! Semoga kita selalu semangat untuk terus menulis dan berkarya💪🔥
ReplyDeleteJangan lupa mampir ke tulisanku yaa😍
Tetap semangat yah ... jangan lupa kunjungi tulisan ku yah Take a look at this : http://artikel.ruangnulis.net/2020/08/alasan-mengapa-menulis.html From Artikel Ruang Nulis
ReplyDeleteTolong juga kunjungi dan komen