Menulis adalah hal yang begitu istimewa. Bagiku ini merupakan sebuah langkah nyata manusia menuangkan segala rasa yang tak mampu terungkap melalui lisan pada sesama. Alasan utama insan bentala raya harus menulis adalah pentingnya menyapa melalui goresan pena.
Mari kita belajar dari Hellen Keller. Seorang tunanetra dan tunarungu yang mampu menyapa insan melalui torehan kata. Virginia bahkan dunia mengenalnya sebagai salah satu editor pemenang Penghargaan Pulitzer tanpa suara.
Berbagai karya luar biasa pun terlahir dari gesekan pena. The Story of my life dan Optimism (1904) hanya dua contoh buah kegigihannya. Menuangkan apa yang dirasa melalui kata yang tak terkatakan.
Selanjutnya, menulis merupakan proses penyembuhan. Maka bagiku salah satu cara terbaik mnyembuhkan luka dan derita adalah dengan menyampaikan semua lewat kata. Tentu saja melalui goresan pena dalam baris kalimat sarat makna.
Melalui gesekan tinta ijinkan segala luka teruarai. Ketika sakit menjelma begitu beratnya keluhkan segala rasa melalui kata. Do'a dan setiap goresan kata pencerita akan mengambil peran berbeda. Ketika segala munajat dihaturkan kepada Sang Pencipta ibarat sebuah obat. Maka ijinkan tulisanmu sebagai langkah menterapi diri dengan ramuan yang ada.
Bersama kita belajar dari seorang Habibie. Membalut sakit kehilangan bidadari melalui gesekan kan pena. Dibiarkan derita malu bersarang lama dalam badan yang tak lemah.
Berikutnya, menoreh tinta merupakan sebuah gerakan nyata manusia mengapresiasi segala pemberian Sang Kuasa. Dengan menoreh pada putih kertas semoga insan akan ingat betapa beruntung dia dengan tangan yang ada. Berdansa bersama kata untuk menyampaikan terima kasih atas segala yang disiapkan-Nya.
Banyak hal yang tak disadari manusia bisa kembali diingat keberadaanya melalui kata tak terucapkan. Tentu saja goresan pena yang mengambil peran disana. Hingga terbuka hati untuk bersyukur atas apa yang diberikan-Nya.
Mari mengambil hikmah dari seorang Zhariff Afandi. Penulis dan motivator yang hidup tanpa tahu bagaimana rasa memiliki dua tangan. Namun lihatlah kini melalui tulisannya berhasil membuka mata manusia.
Dilanjutkan dengan kenyataan bahwa kita hanya memiliki satu mulut sebagai aset lisan pada sesama. Sedangkan penduduk bentala begitu banyak jumlahnya. Tak akan mampu sebuah organ bicara digunakan untuk memperkenalkan diri pada semua insan yang ada. Namun coretan bermakna bisa membantu piranti wicara untuk membuat sesama mengetahui siapa kita.
Menari diatas kertas bersama pena. Merangkai kata agar mampu diterima akal dan hati manusia. Menunjukkan jati diri melalui karya.
Mari bercermin melalui kehadiran sosok Asma Nadia. Tak ada yang kini tak mengenal penulis parlente ini. Goresan penalah yang membawa dirinya dikenal insan bentala saat ini. Maka menulis itu penting bagiku karena mampu menjadi alat penolong untuk memperkenalkan jati diri pada sesama.
Tak hanya empat alasan diatas semata, tetapi bagiku menulis pun bak mengabadikan keberadaan diri di bumi fana. Walau tak akan selamanya jiwa dan raga bersatu di bentala. Saat masa tiba perpisahan pun tak terelak sudah. Ketika itu telah hadir selesai segala yang bersangkut dengan kita di dunia. Maka tandas pula ingatan sesama pada keberadaan jiwa yang pernah ada.
Hanya aksara buah goresan pena yang mampu membantu pengabadian nama kita. Karya yang tergubah selama hiduplah yang akan membuat diri abadi dalam kenangan mereka. Walau setitik tetapi hadirnya ingatan pada jiwa yang telah berpulang tentulah ada.
Mari merenung sejenak dengan berpulang sang penggubah kata. Sapardi Djoko Darmono memang telah tiada, tetapi keberadaan karyanya mutlak diakui semesta. Walau telah habis raga berkalang tanah. Keabadian tetaplah ada bersama karya.
Kemudian untuk diriku yang masih terus berbenah, menari bersama pena adalah langkah tak kasat mata memperhatikan penghuni bentala. Melalui sebuah karya pemikiran manusia bahkan alam raya secara tak langsung mampu kita benah.
Memang bukan langkah ringan menarik hati insan jagat raya. Waktu panjang pun diperlukan guna menikmati prosesnya. Tetapi ketika sebuah torehan tinta telah begitu mengena. Jangan bayangkan betapa dasyat dampak yang akan di dapat.
Mari kita belajar dari seorang Helvy Tiana Rosa. Seorang penggubah kata dalam bait mempesona. Melalui tulisannya dia peduli pada sesama. Kepedulian yang ditebar lewat langkah membangktkan empati sesama.
Kemudian untukku yang sudah tak terlalu belia tetapi juga belum tua, menulis adalah tapak jalan mengemban amanah. Sebuah tugas untuk meneruskan segala pengetahuan yang aku terima. Berdakwah melalui torehan tinta. Menjadi distributor atas segala tuntunan syariah.
Mengembangkan akidah sebagaimana sabda dalam Kalam Cinta Sang Kuasa. Berdansa bersama kata tuk menyampaikan indahnya hidup bersama kebenaran. Sebuah tuntunan bahwa tiada Illah yang layak disembah selain Allah. Menjalani kehidupan sebagaimana contoh dari Sang Baginda bukan sebagai tuntutan melainkan sebuah kebutuhan.
Mari belajar dari seorang Habbibur rahman El Shirazi. Seorang yang melalui gesekan jemari bersama tinta mampu menyentuh kalbu si pendosa. Sebuah ajakan menerima syariah tetapi damai tanpa luka dalam jiwa atau pun raga.
Selanjutnya bagi seorang biasa seperti diriku menulis adalah sebuah bambu penyimpan pendapatan. Bukan semata materi untuk kehidupan dunia melainkan lebih kepada butir pahala untuk kehidupan setelah tiada. Aku berharap melalui gesekan tangan karunia-Nya ada jiwa yang terketuk untuk ridho melaksanakan tuntunan-Nya. Semoga dengan begitu Sang Kuasa pun terketuk untuk menyelamatkan diri ini dari panas api neraka.
Diri ini sepenuhnya sadar bahwa raga dan jiwa sudah terlalu hina karena nista. Sedangkan amal yang dibuat pun belum seberapa. Berharap menjadi penghuni surga tetapi bujuk rayu si musuh yang nyata pun masih membuat diri tergoda. Entahlah aku hanya berharap melalui karya sederhana butir pahala bisa sedikit mengurangi beban dosa pada-Nya.
Disisi berbeda bagiku menulis itu bak alat pemersatu bangsa. Berbagai ras, suku dan agama bisa meraja bersama torehan tinta. Tak akan dibedakan derajat satu dan lainnya bila karya sudah berkata. Membahu dan membaur demi hadirnya sebuah goresan bersama.
Ketika masyarakat dengan berbagai latar belakang telah sepakat dalam satu suara karya. Tak ada apapun mampu menghalau mereka. Sebuah antologi hasil dansa bersama pun terasa begitu merona. Di peluk dan di banggakan setiap penoreh kata.
Mari belajar dari penulis yang berjaya untuk membangkitkan sesama. Berkarya bersama tanpa pandang usia. Tak ada kata yang lebih berharga dari ayo berjaya Indonesia dalam karya.
Alasan terakhirku yang tergores disini tetapi bukan pungkas dari upaya diri. Menulis bak proses mengontrol pergerakan manusia. Tulisan meraja dengan sejuta pesona akan mampu menggiring jiwa. Membawa insan bentala pada sebuah titik bernama purnama.
Bukan dalam makna sebenarnya pada bulan. Namun pada sebuah masa yang bermuka dua. Bila terang maka benderang dunia. Jika gulita meraja maka hal kontra pun menjiwa.
Ketika tulisan berbobot dan bermakna indah. Maka selamat pada penulis dia akan mampu membawa budaya pada titik indah. Namun hal berbeda akan tiba bila kontradiktif yang ada pada torehan tinta. Dunia akan legam dan merana dalam nestapa.
Sejatinya menulis sama dengan menapak pergerakan jiwa manusia. Membangun peradaban insan bentala. Membentuk budaya yang merona dan mempesona.
Lihat bagaimana hebat manfaat yang hadir melalui kebiasaan menulis bagi insan dunia. Itu baru beberapa dari berjuta manusia beruntung. Mereka mampu mengungkapkan rasa yang meraja menjadi gesekan pena bersama kertas dan tinta.
Lamongan, 07 Agustus 2020
Tentang Penulis:
Miftah Nur Jannah, perempuan kelahiran Surabaya ini merupakan seorang yang masih terus belajar dan berbenah dalam setiap keping bagian kehidupannya. Dia menyukai dunia kepenulisan semenjak masih belia. Dia termasuk lulusan terbaik dari Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Mendidik dan menulis adalah dua sisi kehidupan yang amat disukai dan terus diasah olehnya. Penulis dapat dijangkau melalui surel miftahnurjannahcclass@gmail.com, akun instagram @miftahnurarief dan facebook miftahnurjannah.
Post a Comment