Oleh: Aldila Sakinah Putri
Semua orang memiliki alasan dan tujuan tertentu dalam menulis, begitu pula aku. Segala hal yang beralasan baik upaya maupun yang tak terupaya, kiranya dapat kukatakan mengapa aku menulis dalam sepuluh besar penjabaran, sebagai berikut:
/01/
Aku menulis karena tak ada telinga yang mau mendengarku.
Aku bukan siapa-siapa bagi seseorang dan aku juga bukan seseorang dari siapa pun.
Hanya ada nyawa yang bertanya pada diri di depan cermin. Menanyakan tentang bagaimana manusia bisa hidup, bernapas, dan memiliki. Apakah manusia yang tidak dimiliki siapa pun akan berhenti bernapas kemudian mengakhiri hidup?
Apakah itu aku?
Apakah aku manusia?
Lakuna dalam jiwa meminta jawaban pada telinga-telinga yang entah. Memasang wajah paling derana minta dikasihani. Seringai senyuman coba mengiris hati tipis-tipis. Tetap tak kutemukan.
Mungkin ini memang suatu pertanda bahwa aku tetap harus menulis hingga jawaban muncul di permukaan.
/02/
Menulis adalah caraku menyampaikan rindu tanpa harus malu-malu.
Hatiku tersusun atas kepingan mirip pecahan kaca, ada goresan di sana. Harapku masih ada walau sempat nyala-padam membara.
Bagaimana kabarmu? Tanyaku di suatu waktu yang tak kunjung berubah menjadi dua centang biru. Harus bagaimana lagi aku harus menyampaikan rindu? Tanyaku di suatu waktu yang berujung pada pesan-pesan centang satu.
Bagaimana bisa rinduku didengar jika kamu tak punya waktu?
Maka aku menuliskan tentang aku yang merindukan kamu, puisi dengan bahasa rumit yang jika bisa tak akan dapat kau pahami. Karena jika kau paham, maka puisi itu pasti untukmu. Aku menyampaikan ini tanpa malu-malu.
/03/
Aku ingin mengenang kamu dalam kebaikan walau kamu sempat mematahkan. Itu sebabnya aku menulis.
Ada hal-hal buruk tentangku yang terucap darimu --lebih tepatnya kau tak sengaja, segala asa dan cinta runtuh seketika kau memintaku enyah.
Ingin kutanya mengapa dan bagaimana namun aku tak sanggup menatap indah matamu untuk meminta penjelasan-penjelasan yang lebih dari sekadar teori simbiosis mutualisme yang harus terhenti sampai di sini.
Aku hanya bisa menuliskan pertanyaan-pertanyaan tak terjawabku di lembar ini. Mengingat kebaikan-kebaikanmu di sana. Dan mengenang segala hal tentang kita.
Menulis dengan harapan aku akan melupakan rasa sakit karena telah kaupatahkan berulang-ulang.
/04/
Menulis untuk mengaburkan batas nyata dan khayal.
Siapa percaya magis terjadi di dunia nyata? Harry Potter dan Hogwarts itu ada? Segala batas-batas khayal yang tak berkesudahan ini akan terasa nampak nyata jika dituliskan.
Siapa yang percaya aku terluka oleh kamu? Bahwa kita adalah kita yang nampak nyata? Kisah tragis diwarnai mata gerimis pun akan berakhir manis dengan munculnya pelangi di pantai eksotis.
Aku menulis dengan mengaburkan batas. Nyata tampak semu dan semu tampak nyata. Tidak pernah ada kita, namun kutuliskan kisah kita. Untuk mengenang kita yang tak pernah terjadi. Untuk kisah kita yang aku harap bukan hanya mimpi.
/05/
Aku menulis untuk menjelajah ruang dan waktu.
Aku terjebak pada tubuh perempuan sulung ini yang tak dapat melangkahkan kakinya kemana pun. Aku hanya punya tiket sekali jalan. Dibatasi jam malam dan terbatas ongkos pulang.
Dengan menulis aku punya tiket tanpa batas menuju kemana saja dan kapan saja. Kembali dan pergi sesuka hati.
Aku pergi ke masa depan untuk menulis fiksi. Aku kembali ke masa lalu dan mendapatkan puisi. Ketika menulis non fiksi aku bahkan meminjam mata orang lain.
Dan perpustakaan adalah dunia dimana aku menjadi seutuhnya aku yang lupa tengah terjebak pada tubuh perempuan sulung ini yang tak dapat kemana-mana.
/06/
Aku menulis kisah dengan meminjam mata orang lain agar aku menjadi peka terhadap keadaan.
Aku ingin tahu bagaimana rasanya menjadi kamu yang kehilangan. Kehilangan yang terlalu banyak dalam waktu yang terlalu sedikit.
Hidupku terlalu datar untuk dunia yang bergelombang. Perasaanku terlalu hambar untuk menatap hingar bingar dunia yang nanar. Aku yang selalu merasa menjadi korban keadaan kini dapat merasakan apa yang dirasa oleh tersangka. Korban tidak selamanya benar dan tersangka tidak selamanya salah.
Jika kamu merasa tulisan-tulisanku berasal dari hati dan mengena di hati. Ya. Aku menggunakan mata orang lain untuk menuliskannya. Juga untuk melatih hatiku bagaimana caranya berbicara.
/07/
Aku menulis agar terlihat kuat, padahal aku lemah dan banyak kekurangan.
Dalam aksara aku berselindung dari terik panas matahari atau hujan badai membanjiri, kadang kilat dan guntur saling menyambar memporak-porandakan isi hati.
Aku mencoba untuk menjadi kuat dengan menulis kebahagiaan, menulis hikmah dalam setiap peristiwa, menulis diksi-diksi indah tanpa diketahui makna --sesuai ekspektasimu.
Namun tahukah bahwa dalam hati aku menangis karena kenyataannya aku lemah dan serba kekurangan. Aku menulis dengan menutupinya; menutupi kelemahanku yang selalu menerimamu kembali dikala aku hampir melupa tegar.
Dengan menulis aku ingin terlihat indah hingga nantinya kita berpisah, lagi. Sama sama jadi debu, sama sama menjauh.
/08/
Menulis untuk mewariskan wasiat.
Tidak ada yang mengetahui batas usia di bumi. Satu per satu dari kita akan mati dan menghilang bersama fana, takkan ada lagi harga diri.
Segelintir orang akan merasa kehilangan, sebagian yang lain melupakan. Beberapa tulisan akan dienyahkan, beberapa merasa diingatkan. Apa yang kamu tulis adalah yang apa kamu terima, baik buruknya komentar dipengaruhi oleh isi tulisan juga.
Baik-baik dalam menulis sebab jika kita mati tak ada yang bisa menghapusnya, sama seperti ucapan. Tidak ada wasiat yang ditulis dalam bahasa yang buruk dan semoga apa yang diwasiatkan dapat menjadi warisan baik serta menjadi ladang pahala.
/09/
Menulis menciptakan pintu dan ruang yang membuatmu didatangi banyak kawan.
Seseorang pernah mengatakan itu padaku dulu dan kini aku baru menyadari karena benar-benar mengalaminya.
Tanpa tatap kita bertemu di tantangan menulis, saling mengobrol di kolom komentar, hashtag menyatukan kita adalah awal dari segalanya.
Seiring dengan berjalannya waktu kita menjadi dekat lebih dari sahabat, mengetahui satu sama lain walau tak pernah terikat. Tanpa iri dan cemburu kita saling mendukung satu sama lain. Saling belajar dan memberi kritik saran tanpa dendam.
Kita adalah saudara satu keluarga yang mempunyai bapak dan ibu yang sama yakni aksara.
/10/
Dengan menulis aku melihat aku bertumbuh.
Aku hanya seorang remaja yang sering dipatahkan, selalu kebingungan dalam menyampaikan rindu, dan mencoba terlihat kuat walau tak ada telinga yang mau mendengar.
Aku hanya seorang ibu rumah tangga yang meminjam mata orang lain agar peka terhadap keadaan serta untuk mengaburkan batas khayal dan nyata, sedikit demi sedikit mengoleksi tulisan untuk warisan, walau lemah dan banyak kekurangan semoga dapat menuliskan kebaikan demi menjelajah ruang dan waktu mengetuk banyak pintu untuk sekadar bertamu.
Aku melihat diriku tumbuh melalui tulisan-tulisan garis waktu. Dan semoga sampai akhir aku dapat terus tumbuh dengan menulis hingga titik batas terakhirku.
Bio:
Aldila Sakinah Putri. Bukan siapa-siapa. Hanya ingin dikenal sebagai penulis dengan karya-karyanya.
Indah pada waktunya
ReplyDeleteSelalu indah kak 😍
DeleteTerus berkarya Kak.. Semangat dan sukses sll
ReplyDeleteSemangat juga kak ❤️
DeleteKerennn bgt Bu Ketua😄..keep writing😘
ReplyDeleteKeep writing juga kak 🥰
Delete