Sebab aku rapuh.
Ada yang aku hitung setiap detik. Ia yang mengendap tak pernah terlihat. Namun terus melangkah tanpa mampu berhenti, ataupun istirahat sejenak. Meskipun tak pernah kupeluk, namun ia sendiri yang tak pernah sudi melepaskan diri. Bukan sebab aku hebat, namun semua manusia yang hidup pasti terikat olehnya. Untuk duka, yang tercipta atasnama penantian dan proses penerimaan. Harusnya tak kusebut duka bukan? Namun bagaimana, jika kamu saja tak akan sudi untuk memberinya nama. Ada rapuh yang menggenangi pelupuk netra. Tarikan nafas yang kian memberat. Juga aliran frasa yang berjubelan keluar dari sarangnya. Maaf ya, sebab aku begitu rapuh. Maka aku menuliskannya berpuluh-puluh.
Sebab aku ingin memiliki, maka aku menuliskannya.
Di dunia ini, ribuan perasaan tak selalu mampu tersampaikan. Itulah mengapa seseorang yang beruntung adalah ia yang berakhir dengan yang dicintai dan mencintainya pula. Tapi sekali lagi, hidup tidak selalu sesuai harapan makhluk berakal. Oleh karena itu, aku mencari cara untuk tetap memiliki perasaan yang ada—meski tak tersentuh raga. Hingga kutemukan sebuah solusi manis meski kadang terlihat miris. Menuliskannya; begitulah caraku menjaga apa-apa yang belum atau mungkin tak kuasa kugapai. Seluruh kita; makhluk semesta, menjalani hidup dengan apa-apa yang baik menurut-Nya. Karena itulah yang kemudian menjadi hal-hal paling tepat untuk kita.
Sebab aku, hanya ingin menyampaikan rindu.
Atas banyak detik yang kusangka jarum, menikam. Ia tak jarang membuatku gagu. Orang-orang berlalu lalang. Bertanya, menjerit, bahkan memaksaku tak lanjutkan jalan. Aku tak kuasa berkata, tunggu. Bahkan sekadar menyalami rindu pada aksaramu saja aku tak mampu. Oleh karena itu, aku menuliskan banyak hal pada laman-laman biru tua. Entah kau akan membacanya atau tidak, itu bukan peduliku.
Sebab aku butuh bercerita, maka aku menuliskannya.
Sebelumnya, aku sempat lama menjeda. Membiarkan kebisuaan hinggap di beranda. Menginjak-injak keberanian, hingga membunuh konsistensi, yang dulunya cukup membara. Kupikir, manusia butuh jeda untuk mengumpulkan nafas (lagi). Tapi nyatanya, tak selalu benar. Jeda yang terlalu lama, tak jarang membunuh lingkar kebiasaan. Membekukan diksi yang (dahulu) berserakan. Hingga menghimpit nalar, amat dalam. Kewarasanku dipertanyakan, tumpukan pemikiran terbengkalai. Aku tidak pandai bersilat lidah. Maka dengan sepenuh upaya mengais nalar, memanaskan diksi agar meleleh. Aku kembali mengeja kata demi kata. Sebab ceritaku, sudah tak kuasa tertampung dalam kotak-kotak memori berlapis kaca.
Sebab aku ingin menyapa, maka aku menuliskannya.
Mungkin bagi sebagian orang, menyapa ya tinggal disapa, tak usah repot lewat tulisan. Macam jaman dulu aja pakai tulisan. Betul tidak salah. Tapi sekali lagi, itu tidak berlaku bagiku. Karena beberapa orang, kadang tidak kuasa terdekap jemari. Sebab terpisah ruang, bahkan malangnya juga terpisah waktu. Maka aku menuliskannya, karena hanya dengan itu aku mampu menyapa. Seluas yang aku mau, sebanyak yang aku pikirkan. Beberapa yang telah pergi, belum tentu mampu kembali. Namun keinginan menyapa, tidak selalu ikut hilang bersama kepergian bukan? Seperti rindu, sapa pun tak mengenal waktu.
Sebab banyak hal di dunia terasa nyeri, namun tak kuasa terlantunkan dengan nada.
Ada yang diberikan kesempatan, namun tak juga berniat menyisipkan kesungguhan. Ada yang tak diberikan kesempatan, namun begitu menerima segala ketetapan. Salah satu contohnya yaitu perihal belajar, apapun itu. Setiap kusaksikan fakta ini, miris. Nyeri sekali, hingga tak kuasa untuk melafadzkannya dengan lisan. Maka apa-apa yang terasa nyeri. Kurang sesuai, hingga yang menuntut penyesuaian, kesemuanya merupakan salah satu topik yang perlu dituliskan.
Sebab kedamaian, merupakan hak tiap-tiap makhluk berakal.
Pernahkah kamu merasa gelisah? Berbagai hal yang berjubel di kepala, nyatanya selalu ada dalam setiap kehidupan manusia. Malah katanya, masalah itu tanda kalau kita masih hidup. Memang pernyataan ini dapat berjabat tangan dengan nalar. Ketika segala sesuatunya menumpuk, lelah merunduk, memeluk. Perasaan tidak tenang hadir. Seakan mengingatkan bahwa sekuat-kuatnya karang, akan lebur apabila dihantam berkepanjangan oleh debur. Selain dengan bersimpuh kala hening menyandera. Bagiku, cara lain menggenggam damai adalah dengan menuliskannya.
Sebab ia seperti cermin.
Menulis itu selaiknya sedang bercermin. Entah menampakkan diri sendiri, atau orang lain di sekitar. Tapi ia adalah cermin. Menciptakan ruang-ruang pemikiran, yang bermula dari observasi atas diri sendiri maupun lingkungan. Kesemuanya kemudian diracik menjadi frasa-frasa sederhana dengan alur yang bisa jadi tak serupa. Menulis adalah cermin, yang dengan itulah aku mampu berpikir. Lebih dalam. Lebih luas. Dan semoga lebih baik untuk ke depan.
Sebab ia seperti jalan.
Ketika kita berjalan menyusuri sebuah tapak tanah maupun aspal. Tak jarang akan banyak berjumpa lubang maupun rintangan lainnya. Namun, bisa juga kita menemui sebuah hiburan. Entah dalam wujud pemandangan langit, alam, maupun orang-orang di jalanan. Sebab jalanan itu unik, dari sana kita mampu belajar tentang banyak hal. Perihal warna senja yang merekah, padi yang bergoyang, pun juga kesabaran dalam riuh kemacetan. Menulis pun demikian. Selaiknya jalan, ia adalah sarana belajar. Mendalami makna kemudian menuangkannya, tak hanya untuk berbagi namun juga agar terikat dalam ingatan diri sendiri.
Kalau kata kimia, ia adalah larutan penyangga.
Larutan penyangga yang menjadi penyeimbang, mempertahankan kondisi pH agar berada di keadaan normal. Tidak terlalu asam maupun terlalu basa. Tapi ternyata, hal semacam ini tak hanya diperlukan dalam kimia saja. Sebab kehidupan pun memerlukannya. Agar kehidupan lebih seimbang, emosi negatif dan positif sesuai kadar normal. Maka butuh sarana untuk menuangkan berbagai aliran perasaan maupun pemikiran. Jika dalam kehidupan milikku, aku memilih menulis sebagai sarananya. Menjadikan menulis sebagai terapi untuk menyeimbangkan berbagai pemikiran maupun perasaan. Karena selain berceloteh ketika hening, hal lain yang begitu berdampak adalah dengan menuliskannya.
Tentang Penulis
Desi Nur Istanti merupakan perempuan yang suka bercerita melalui aksara, diskusi dan kopi. Saat ini, ia masih menetap di Yogyakarta. Jadi apabila tak sengaja ke Yogyakarta, boleh mampir Krapyak untuk sekadar bertukar sapa. Jika ingin berbagi cerita dapat melalui instagram @dnurist dan email parviscandelis@gmail.com.
Post a Comment