Oleh: Putranty Widha Nugraheni
aku menulis untuk melambatkan lupa.
lupa bahwa diatas meja yang beralas sendu itu,
terhidang kotak memori tentang kamu dan gurat yang menyayat.
kupilih dengan sengaja, menyesap tiap pedihnya, menguncinya di ujung pena, lalu membuang kuncinya.
perempuan ini masih suka mencorat-coret ingatan dengan krayon warna warni,
senin pagi matahari, kamis siang pelangi, sabtu sore kubangan kelabu yang bau.
lalu berakhir isak sendu di ujung minggu.
aku tak mau jadi perempuan alpa yang terlalu awam untuk lupa,
kalaupun iya, mungkin aku lupa untuk membuat temu dengan ingatan yang membatu,
yang menolak dikuliti waktu.
___
aku menulis karena ingin berbagi,
berbagi cerita, tawa, kadang cerita basi,
yang terhidang diatas piring rapuh dan gopal terseret ekspektasi.
untuk mereka yang bosan dengan ceritaku,
tak apa, skip boleh dan bisa.
ceritaku memang ditujukan untuk orang-orang yang itu itu saja,
yang entahlah, sudah 6 tahun ini kenapa namanya masih mengendap, rekat.
bisik-bisik sudah kutiupkan ke telinga,
padahal aku menyuara lantang memekik di sudut sukma,
tapi tak pernah terdengar, tak akan.
lalu menghembus, lebih terdengar seperti, luka.
nampaknya aku lebih takut untuk mendengar sayup pisah,
yang puing rindunya pecah, dari jiwa yang lelah,
dan menyerah,
atau sudah beda arah.
____
aku menulis karena ingin membuat duniaku sendiri,
mencecap bahasa yang kadang tak kumengerti.
audisi tokohku berlangsung riuh, apa kau mau ikut?
mari, aku ajak bertemu dengan penari kecil,
yang kerincingnya berkarat-karat,
sampur merahnya digerus tikus,
lalu menyimpul senyum manis dibawah gincu merah delima.
kuajak kau tuk mencari ibu guru berseragam usang,
kerudungnya bulak dihajar matahari,
berkaos kaki kusam dan lubang,
bersimpuh mencoret ijazah warna-warni.
selepas senja, mari berjumpa mahasiswa setengah tua
mengerenyit berkutat dengan desingan computer
bergelanyut hanyut dengan data,
lalu membatin, hari ini paling irit makan apa ya?
tapi meriahnya duniaku belum bisa kubagi,
kecuali, suatu hari ada yang mengerti,
kan kuajak mengunyah kudapan,
sambil berdendang, lalu berpuisi.
——
aku menulis untuk sembuh dari luka-luka
kau tahu, kalau kulit terluka dalam-dalam,
fibrosa akan bekerja, jaringan parut memperbaikinya
dia akan menyembuh dengan baik,
namun, dia akan membentuk parit
menebal, membekas, permanen,
mencipta tampilan mencolok, berbeda.
begitupun soal rasa,
ketika tergores, terampas lekuk senyumnya, terguncang sukmanya, apakah akan pulih?
oh, tentu saja.
ketika badainya mereda,
ia tak akan tumbang, meradang, berongsang, sungguh!
lukanya mengering dan sembuh dengan arif
tertutup barisan sajak bijaksana
tapi ia tak kan pernah sama, bekasnya masih ada
kau mulai khawatir? tenang sayang, semuanya masih
dan akan baik-baik saja.
——
aku menulis untuk merapal mantra dan doa
melangitkan doa lewat barisan huruf dan kata
adalah jalan yang kupilih ketika tak ada lagi sisa tenaga
kuharap sayup bisiknya menghibur jiwa-jiwa yang lelah
untuk tumbuh kuat
untuk jadi tak lemah
harap-harap yang terburu waktu
bersembunyi dari cibiran sini situ
dengan setiap untai doa aku menguat
dalam pelukan malam aku bermunajat
tiap-tiap huruf yang tereja
berbaris ayat yang kubaca
semoga banyak doa baik yang bertumbuh
yang diaminkan semesta
jadi, kau kujaga lewat doa saja, ya?
:)
——
aku ingin terabadikan dalam kata-kata
suatu hari nanti
aku ingin berani memulai pertunjukan aksara
kuingin kau tak lupa bawa kamera
dan pena untuk pengikatnya
agar jadi kekal di teduh matamu seterusnya
tak muluk-muluk
aku tak berharap semahsyur
eyang Sapardi yang berpena tentang hujan di bulan Juni
pemilik frasa yang fana adalah waktu, kita abadi
aku nanti ingin memberi legasi pada anakku
dari satu bibit aksara
kusiram tiap hari dengan semoga
kupupuk rima-rima
kudoakan berbuah lebat jadi rangkaian prosa
bersisian ranum dengan puisi dan mantra
nak, kelak rawat taman kata-kataku dengan cinta, ya?
——
aku menulis karena aku tak mampu bicara
di depan loket nomor sebelas
perempuan itu duduk menanti
nomor seratus tujuh belas
masih sembilan puluh satu
dua puluh enam panggilan lagi
penantiannya terhenti pada sepasang mata
yang pernah menerbitkan paginya
lalu tujuh bulan lalu
tiba-tiba mentarinya ditenggelamkan paksa
diksionari perempuan itu buyar oleh satu kalimat apa kabar
yang terlontar dari bibir sang pemilik mata
yang memilih untuk menghidupi frasa yang senada
dibandingkan ia yang dianggap tak seirama
perempuan itu lari
tidak peduli antrian loket tinggal satu lagi
ia tak bisa bicara
hanya bisa bergumam
semoga dan semoga dan semoga
——
aku menulis untuk belajar mengamati
di depan surat kabar sabtu pagi,
aku berjingkat menelusuri berita utama di pojok kiri,
tentang seorang ibu yang tergeletak lemas di depan pasar swalayan,
konon,
dia kelelahan setelah berjuang keras melawan egonya sendiri.
di halaman ke enam,
ada seorang pejabat teras tersungkur menyesali
akibat tindak korupsi,
atas waktu yang diambil dari anaknya sendiri,
belakangan ia sadar, anaknya tak mungkin kembali.
di sudut baca lain,
ada pemuda yang diadili pihak berwenang,
karena kedapatan tengah mencuri,
segumpal hati seorang gadis pemalu yang memintanya bertanggung jawab,
atas rona-rona merah di kedua pipi.
berita hari ini, sungguh warna-warni :)
Aku menulis untuk menaklukkan diriku sendiri
konon katanya,
musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri
selalu membela diri
terlalu banyak pretensi
sulit dikritik, kebal diberi sanksi
bandel ketika diberi pesan, tak acuh saat disiram saran
hati membengkak merongga, lalu berbayang
tak lama lalu memburam
jiwa-jiwa membaya, merenta
waktu muda yang digerogoti resah
merasa paling nelangsa
merintih seakan punya luka paling paripurna
lupa akan nyeri-nyeri di tubuh lain
yang lebih payah
tak payah menempatkan diri jadi kontestan
padahal ini sama sekali bukan kompetisi
selain untuk menundukkan monster ego
yang duduk betah bersemayam
di sudut tersembunyi.
——
aku menulis karena...
ya aku ingin saja!
seingin aku pakai jas merah, kemeja kuning, dasi kupu warna biru
bersepatu badut dan bercelana kelabu
melompat-lompat di pinggir danau
peduli amat kata orang tentangku
eh, jangan jangan aku gila
lepas dari rumah sakit jiwa,
aku cuma ingin lepas pikir
sekejap-kejap saja
jadi gila itu, enak apa ya?
bebas, tanpa beban, tanpa pikiran, bahkan tak butuh pendidikan
lepas, teriak, tertawa, lupa,
tapi, gila lebih enak seterusnya atau sementara saja?
aduh, jadi gila saja kenapa pusing begini ya?
haha, menulis seenak-enakku saja
lagian, puisi yang melulu puitis itu aturan dari mana?
(Malang, 8 Agustus 2020)
Tentang Penulis:
Putranty, akrab dipanggil Rani, pernah menjadi finalis lomba karya tulis ilmiah di UBL dan UGM. Rani menjadi volunteer di Swayanaka, Young On Top, 1000 Guru Malang, dan Kelas Inspirasi. Saat ini menjadi pengajar Science, English dan Kimia di Brawijaya Smart School Malang. Menulis untuk hobi, dan sedang menyembuh saat ini.
keren bgt sih ini aseli
ReplyDelete