ALASAN UNTUK TIDAK MENULIS



Oleh: Fikri Abdurrahman

Tidak seperti dulu semangat saya membara semangat muda. Dibandingkan dengan sekarang, menulis adalah penyakit yang perlu saya hindari, bila kambuh jadi repot. Namun aneh juga bila saya menerbitkan tulisan saya di sini. Memang saya tidak sehebat penulis handai tolan atau penyair terkemuka se-Nusantara. Bisa dibilang umur saya menulis masih bisa dihitung jari. Tidak tahu sebab dan apa akibat bila saya terus menulis.


"Aku menulis bukan bercita-cita ingin terkenal

Aku menulis hanya ingin terus-menerus mengenal" kata saya empat tahun yang lalu.


Berawal dari senang mendengar dongeng dan cerita dari kawan-kawan yang begitu asik terdengar dengan gaya yang diperagakan sesuai dongengnya. Menciptakan fatamorgana yang kasat mata tapi terasa. saya tulis setiap dongeng-dongeng itu menjadi satu kesatuan alur yang tertulis abadi. Dari sekian orang yang pernah saya temui, hanya saya yang kurang pandai berbicara, minoritas. Saya kikuk dalam bila berbicara. Berkata, itu bukan sifat saya.


Kawan-kawan profesional mengolah kata, laksana penyair melafalkan nada dan instrumen kata sehingga tercipta jauh yang tidak terbayangkan merdunya.

Jangankan saya tidak pandai melafalkan kata? Mau bicarapun tidak.

"kata-kata bisa diubah makna dan artinya!." Pengubahan itulah yang mengkhianati hakikat kata sesungguhnya. Berbeda dengan menulis yang bisa seenaknya saja dan tidak pernah dicampakkan. Tulisan yang keluyuran namun bermaksud pasti. Ketahuilah menulis butuh niat kuat. Sebisa mungkin saya harus tetap mengabadikan dongeng kawan-kawan lewat tangan, lewat tulisan. Karena hanya itu yang saya bisa.

Satu kutipan yang membuat saya betah menulis "sudahkah tersampaikan?"

Memang menulis tidak seperti bicara yang disampaikan sederhana, menulis menggunakan cara menyampaikan yang beragam. Cara tersebut adalah ciri dari seorang seniman.

Contoh. Hujan, jika terucap "hari ini hujan." Sedangkan dari segi menulis "rintik hujan kali ini masih membawa kenangan kita dulu" atau "dedaunan basah telah disampaikan rindu dari hujan."

Bisa saja jika diucapkan seperti yang tertulis. Namun terdengar cengeng dan tidak indah diucapkan. Karena diperuntukkan untuk dibaca dan dihayati. Menulis tidak sederhana dan terbelit-belit, namun akan terasa lega jika esok hari dibaca kembali. Seperti bicara dengan diri sendiri lantas tertawa atau se-iya.

Bukan berarti orang mendongeng stratanya di bawah penulis.

Justru dari pelafal-pelafal handal yang setiap hari punya dongeng yang selalu diceritakan adalah buah pena, ide tulisan. Mana ada tulisan yang tidak dari sebuah cerita yang diceritakan. Apa hanya tongkosong berbunyi nyaring saja yang bisa! Penyair bisa dong. Pendongeng bunyinya nyaring dimana saja, benar kawan?

Mungkin saja, dari dongeng kawan-kawan yang telah membangkitkan jiwa penulis saya yang tersegel jauh ke dalam. Mungkin saja.

Hero

Tidak hanya itu, baru-baru ini faktor yang mempengaruhi saya betah menulis setelah dongeng-dongeng adalah kekaguman saya terhadap jelmaan Hero (Pahlawan).

Saya rasa seperti itu hal lumrah dimata anak-anak dengan kekagumannya dengan film serial yang menayangkan pahlawan idola mereka, begitu juga saya.

"apa yang terjadi." Kata narator di tayangan kanak-kanak "Bila hero tidak kembali datang memenangkan tempur sengit dengan peradaban, cinta, dan  kesedihan yang telah terurai lebur menjadi bubur." Televisi menayangkan adegan kota dihancurkan. Tiba-tiba datang sesosok orang yang muncul dari kepulan asap "Hero adalah figur handal tidak kenal roboh, takut, maupun aniaya. Dalam niat betonnya hanya bangkit dan lawan. Tidak ada batas yang dapat membungkamnya, tapi batasan itu adalah hero sendiri."

Saya rubah maksud Narator televisi itu lewat imajinasi saya.

Apa yang terjadi, bila penulis handal akan gugur dala detik waktu dan masa. Gores yang tidak lagi bergerak ke sana kemari membentuk kekuatan dan harapan.

Hero adalah penulis handal yang tidak kenal lelah dan letih bersuara tanpa bicara, tanpa nada, namun terasa mendengung abadi. Senantiasa mengolah kata, menyusunnya sedemikian rupa yang tidak hanya indah didengar. Tetapi penuh makna yang menyayat seperti samurai ketika memenggal kepala sang ronin. Apakah demikian? Entah, tapi keren...

Kawan yang budiman. Saya rasa kutipan yang satu ini tidak pernah mengkhianati bila kawan sekalian ingin menjadi penulis "Bila gugur satu, akan tumbuh sepuluh ribu."

Dalam lubuk paling dalam "aku ingin seperti hero" Lalu kapan saya dan kawan menjadi hero? Mari tengok langkah waktu yang senantiasa berdetak pelan namun pasti itu.

Bila mengingat diriku dari masa lampau. Aku tidak suka menulis. Karena sebal dan jengkel melihat huruf demi huruf yang tidak aku mengerti, aku tidak begitu paham.

Mau bagaimana lagi. Seperti judul yang saya tulis adalah "beralasan untuk tidak menulis". Saya terbilang orang yang kurang mood dalam menulis. Tidak seperti saya yang masih bocah—waktu itu dengan kawan-kawan literasi saya—yang semangat untuk menjadi penulis. Saya kira gampang menjadi penulis. Sebab dahulu saya tidak tahu menahu apa itu tulisan. Kesulitan, dan ancaman yang mana saya dituding untuk mengorbankan waktu saya demi menjadi penulis handal seperti Hero yang saya kagumi. Tiada anak manusia bisa berjalan setelah lahir. Mustahil!

Sebab saya percaya proses. Saya meng-amin-nya.

Semakin jauh Saya mengenal tulisan, eh ternyata semakin asing pada tulisan. Bahwa tiada tempat untuk tulisan terbaik selain buruk dan jelek. Otomatis pikiranku menganggap "kenapa tulisanku jelek, ya? Hapis ah." Kawan saya pernah berkata "literasi yang baik adalah kita dibaca seseorang"

Jadi sampai sini, apakah saya hendak berhenti menulis?

Hampir putus asa. Bahkan saya pikir artikel ini tidak terselamatkan. Namun dari buah pena saya dahulu, lucu sekali. Lalu saya susuri kalimat lama, membacanya mantab lantas tertawa membaca tulisan lama itu, seperti diceritakan masa lalu saya oleh diri saya lewat kata-kata yang lucu namun asik.

Apalagi membaca tulisan saya yang tidak karu-karuan itu, seakan-akan huruf-huruf itu mendobrak memaksa keluar dengan gerakan berantakan. Intinya senang-senang terheran lah!

Siapa sangka yang dibeci berbalik yang paling digemari. Wallahu alam.

ketika tertulis huruf yang susun menyusun, sambung menyambung, gabung menggabung, menciptakan makna, hayat, dan jejak yang semua ada namun terasa yang masih aku rasakan. Tulisan saya banyak alasan yang sedih, senang, sendu, ria, bahagia, gembira, marah, benci, sakit, busuk, pilu, baru, lama yang campur mengaduk menjadi satu yang utuh tapi mudah terurai bila mau. Tulisan saya tersusun dari bagan waktu demi waktu yang berjalan meninggalkan jejak-jejak yang entah itu jejak kenangan atau renungan.

Aku menulis halayak gitar yang dipetik dengan pelan dan lantang yang menggiring pemetiknya menciptakan nyanyian istana-istana pangeran dan putri yang jauh tidak terbayangkan merdunya.

Aku menulis menghadirkan senja yang senantiasa membakar langit-langit menjelma titik pusat rotasi yang senantiasa ditatap pasangan pria dan perempuan saat piringan merah itu perlahan tenggelam yang menggulung langit, pantai, dan dirinya menjadi bersatu dalam malam dan bintang.

Pada cat minyak dan kanvas, aku menulis dalam lukis dari bayangku, keringatku, usahaku, tarikan dan hembusan nafasku yang membentuk, mengurai, lantas menyatu warna-warni seperti cinta.

Tiada alasan dalam tulisku. Itu sebabnya masih ada episode-episode yang menanti.

 

Tentang Penulis:

Nama Fikri Abdurrahman, kawan-kawannya menjulukinya Bos Geng. Dia mengaku bukan seorang Mahasiswi yang bucin dan bahenol. Dia lebih suka dongeng, entah dari warkop atau dari kawan literasi. Tidak ada alasan kuat bagi dia bisa bertahan hidup, namun pernah dikisahkan suatu saat nanti dia ingin mencerdaskan bangsa lewat serial dongeng atau komik-komik. Semoga saja?

 

Share:

1 comment :

  1. Saya harap coretan yang tidak berguna ini dapat membawa berkah hehe

    ReplyDelete

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis