AKU MENULIS KARENA BUTUH


ABD. GANI BAHTIAR


Hal paling umum yang dipertanyakan manusia adalah diantaranya alasan setiap peristiwa yang terjadi. Alasan eksistensi peristiwa yang pada akhirnya menjadi dorongan kuat untuk peristiwa yang sama terulang terus menerus. Termasuk alasan tatkala saya menuliskan peristiwa yang terjadi di sekitar saya, bukan karena saya tak memiliki lisan, hanya saja kadang lisan tak mampu menguraikannya. Berikut adalah beberapa alasan saya menulis;


1.        Ironi Keadaan

Kejadian di sekitar kita memanglah epic, dari kejadian yang begitu saja tanpa makna berarti, hingga kejadian yang memberikan pelajaran bagi diri baik secara langsung maupun tidak.

 

Seperti tempo hari, saat pengolahan nilai ujian semester di sekolah. Kala siang beradu terik mentari, saya diperlihatkan tontonan yang seolah menyindir dalam beberapa peristiwa terakhir yang saya alami

.

Dua ekor kucing lucu yang sedang menjalin asmara. Kucing abu-abu dan kucing oranye. Kucing abu-abu tak hentinya merayu kucing oranye untuk dijadikan istri. Perilaku keduanya seolah menyindir perjuangan saya selama enam bulan terakhir ini. Beberapa peluang mendapatkan pujaan hati seketika kandas disebabkan kurangnya perjuangan untuk mendapatkannya

 

2.        Merasa Senasib dengan Zainuddin dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Saat Zainuddin pergi meninggalkan Hayati di batipuh, hanya tulisan di secarik kertas lah yang menyambungkan perasaan kedua insan tersebut. Walau pada akhirnya keduanya terpisah oleh adat yang tak tertulis. Setidaknya Hayati tidak terlepas dalam genggaman dalam sekejap. Sempat berbulan menikmati rasa harap dan khayal. Dan pada akhirnya Zainuddin binasa menanggung cinta.

Dalam beberapa kejadian, saya menuliskan perjalanan kisah asmara saya, dan kamu pasti tahu endingnya kan? Sama seperti Zainuddin, namun sejauh ini saya belum binasa

 

3.        Kritik Sosial

Keragaman manusia dalam hidup sosial sangatlah banyak. Ada yang berperilaku lurus sesuai aturan, namun tak sedikit pula yang menantang arus. Banyak alasan membuatnya terjadi. Dari tak sadarnya akan keteraturan bahkan disengaja karena kebutuhan passion atau eksistensi diri dalam pergaulan.

Saya sering berhadapan dengan orang tipe yang terakhir. Di antaranya sebagia
n orang yang bersepeda sambil mengobrol dengan pesepeda lain. Selain mengambil lajur pengendara lain, mereka seakan tak peduli hak orang lain. Asyik bercengkerama dengan kawannya, tanpa harus tahu keadaan sekitar.

Jika saya langsung menegur saat itu, pasti kita tahu, bahwa merekalah yang marah dan merasa tak bersalah

 

4.        Sarana Mencurahkan isi Hati

Hati mana yang tak pernah terluka? Hati mana yang mempan akan goresan tajamnya lisan seseorang? Tidak ada? Tak satupun di bawah kolong langit ini.

Jikapun kamu tak melihatnya, ketahuilah mungkin dia tak berbagi kesedihan denganmu. Bisa saja dia berbagi dengan orang terdekatnya, atau bisa jadi dia hanya memendamnya seorang diri. Kelak rasa sakit itu hanya mampu ia goreskan pada secarik kertas dan sebatang pena.

Dia bukannya tidak menyukaimu sebagai pendengar, hanya saja dia tak kamu menghakimi kesedihannya. Dia tak ingin kamu sebagai orang yang menuntut kesalahan atas kesedihannya. Dia lebih memilih pena dan kertas, ketimbang segumpal daging yang penuh penghakiman. Kamu.

 

5.        Menuliskan dari Teladan terbaik

Teringat kisah Anjasya tatkala bersyair di samping untanya Rasulullah. Merdu nian suaranya, unta pun turut mengikuti hingga menggerak-gerakkan badannya. Sedang istri nabi berada di atas unta tersebut. Melihat hal tersebut Rasulullah menegur Anjasya, khawatir takut terjadi hal buruk menimpa sang Botol kaca (istri nabi.red). Di dalam riwayat lain Rasulullah mengibaratkan para wanita sebagai Gelas-gelas Kaca.

Itulah wanita, bahkan di saat memuliakannya pun kita harus berhati-hati. Dia yang menawan hati namun rapuh. Bukan terhadap kerasnya dunia, tapi ia rapuh terhadap perlakuan Lelaki. Muliakanlah ia, sanjunglah ia, jagalah dan bimbinglah ia ke jalan yang lurus.

6.        Mengenang Masa Lalu

Semasa kuliah beberapa tahun silam, Lebaran adalah hal sangat dinantikan. Berkumpul dengan keluarga, berbagi tawa dan makanan. Tak ragu saling menyayangi dan mengasihi. Seketika permasalahan yang bergelantungan di sudut mata, melekat bersama urat-urat di tangan, hilang ditelan riuhnya obrolan di meja makan. Saat itu, satu-satunya di dunia ini adalah kebahagiaan.

Namun waktu tak merelakan semua itu kekal. Akan tiba saatnya lebaran t'lah usai. Satu persatu tawa kebersamaan gugur beriring waktu. Termasuk
saya, yang harus lekas kembali ke perantauan. Meninggalkan kampung halaman. Meninggalkan sementara kebahagiaan, dengan harapan esok bisa kembali lagi. Tanpa saya sadari, bahwa suatu saat nanti kebahagiaan itu, tawa riang di meja makan tidak selengkap dulu. Namun, kenangannya abadi, tertulis indah di atas kertas kenangan, bertinta kan doa, agar dikumpulkan lagi di tempat yang kekal.

 

7.        Membangkitkan Semangat Diri

Sebuah kutipan dari novel terkenal, dedaunan tak menyalahkan angin yang bertiup membuatnya gugur ke bumi. Terkutip untuk orang-orang yang merasa gagal dalam perjuangannya agar segera bangkit. Mengetuk alam sadarnya, bahwa kegagalan bagian daripada keniscayaan.

Hendak pula belajar dari bara api ya
ng ditiup angin, bukannya padam, malah semakin membara.

Saya pernah seperti dedaunan, tetapi saya merangkak untuk bangkit lagi. Saya tak menyalahkan kegagalan, toh masih diberi kesempatan lain. Tapi saya benci, tatkala saya tak melakukan apa-apa. Saya benci menyerah. Esok, kan saya ceritakan kepada anak cucu, bahwa mereka punya orang terbaik yang melawan keputus asaan. Saya yang menorehkan sejarah diri sendiri.

 

8.        Membandingkan Rasa

Percintaan di masa kini tidaklah "seasyik" di masa dulu. Apalagi bagi mereka yang terpisah jarak. Seorang suami yang mengais rupiah di tanah seberang misalnya. Rindu yang membuncah berhias dengan penantian. Manisnya kian bertambah saat sajak tertulis rapi di sebuah surat, beralamat dari orang di seberang sana, menyatakan akan kerinduannya.

Asa kian bergairah tatkala bulan sedang purnama, berharap saat munculnya anak bulan lekas bertemu. Air mata pertemuan semakin tak terbendung tatkala punggung yang terkasih semakin jelas mendekat.

Ooh, indahnya pertemuan setelah penantian panjang. Indah pula yang akan tertulis dalam surat kesabaran.

Semoga lekas dipertemukan.

 

9.        Sebagai Nasihat

Sumber utama kekecewaan adalah berharap kepada Makhluk secara berlebihan.

Secara tidak langsung, orang yang tersakiti bukan disebabkan oleh orang lain, melainkan harapan yang terlampau besar. Seseorang yang mengharapkan pelaminan bagi orang yang disukainya, namun 'sang kekasih' hanya mampu memberikan persahabatan. Berharap bisa sehidup semati, apadaya yang bisa dia berikan sekedar tempat curahan hati.

Kita sering salah berharap, kemudian salah memberikan apa yang sebenarnya dipinta, dan pada akhirnya saling kecewa dan mengecewakan.

 

10.    Aku Menulis karena Butuh

Langit menguning di ufuk barat, sinar mentari kian memudar dipeluk senja. Tanda siang berganti malam, tanda bagi setiap makhluk kembali ke dalam peraduan. Dipeluk gulita, didekap dinginnya malam.

Bisikan angin dari barat membangunkanku, menyadarkanku dari lamunan akan pertanyaan besar, mengapa kau akhir-akhir ini sok menjadi penyair, berbangga dengan tulis menulis? Seperti bukan dirimu saja.

Kututup mataku, kuhirup udara sore itu, kubuang agak perlahan. Dengan berbisik pula kujawab, "Aku butuh menulis, bukan hanya ingin didengar oleh telinga, tapi aku juga ingin dipahami oleh hatimu. Pelan-pelanlah membacaku, mohon! "


Abd. Gani Bahtiar (Kota Bangun, 07 Agustus 2020)

 

 

 

 

Tentang Penulis:

Abdul Gani Bahtiar, lahir di desa Loleng 06 Desember 1991. Anak-anak didikku memanggilku dengan nama Pak Gan (kadang Mr. Ganz). Saya seorang guru Matematika di SMA Negeri 1 Kota Bangun, namun merasa butuh menulis, dan pada akhirnya menjadi bagian dari kehidupan. Singelillah untuk beberapa saat, untuk mendapatkan yang terbaik.

 

 

 

 

 


Share:

Post a Comment

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis