Oleh: Melynda Dwi Puspita
Awali Hari dengan Diary
Aku lahir di tahun 1998. Pada masa itu, teknologi belum berkembang pesat. Sehingga kegiatan tulis-menulis masih menggunakan media kertas.
Saat memasuki usia sekitar 10 tahun. Tepatnya kelas 5 SD, aku pernah mengagumi seseorang. Bisa dibilang my first love (jujur malu mengatakan hal ini :D). Aku yang tidak mempunyai daya untuk mengatakannya. Belum lagi terbelenggu dengan aturan yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menyampaikan perasaannya. Sehingga aku hanya mampu menuliskannya melalui buku diary.
(Gambar diatas adalah buku diary-ku yang masih ku simpan.
Walaupun isinya sudah ku sobek hehe).
Aku pernah mengalami kejadian buruk dimana saudaraku membaca isi diary itu. Aku malu, aku marah. Sehingga aku berniat untuk menyudahi kegiatan menulis.
Semenjak kejadian itu. Aku pun benar-benar enggan untuk menulis. Selama duduk di bangku SMP. Aku hanya fokus sekolah dan tidak ingin lagi menulis untuk menyampaikan perasaan di diary.
Hingga tiba saatnya aku duduk di bangku SMA. Aku mengikuti ekstrakulikuler KIR (Karya Ilmiah Remaja). Selain diwajibkan untuk penelitian. Aku diwajibkan untuk membuat laporan tentunya. Sehingga mau tidak mau aku harus kembali menulis.
Selain itu, aku juga ikut LKTIN (Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional) untuk pertama kalinya. Walaupun tidak menang wkwk. Semenjak itu, keinginan menulisku kembali menggebu-gebu.
Kuliah Membawa Berkah
Bermodalkan pengalaman ikut KIR. Saat memasuki bangku kuliah, aku memutuskan untuk bergabung dengan lembaga riset dan karya ilmiah di kampus. Ketertarikan untuk belajar menulis karya ilmiah muncul karena untuk mempersiapkan diri mengerjakan skripsi di semester akhir.
Tidak ada niatan lebih!
Tetapi ternyata ketika melihat teman-teman seorganisasi begitu semangat menulis. Terutama menulis untuk mengikuti ajang perlombaan. Aku pun juga ikut serta mencoba memantaskan diri bersaing dalam kompetisi karya ilmiah.
Benar kata orang, "lingkungan yang akan membawamu menjadi seperti apa". Akibat ikut organisasi itulah, aku bisa merasakan ikut lomba langsung ke Ujung Barat Indonesia. Karena menulis juga lah aku bisa naik pesawat untuk pertama kalinya.
Berkuliah di bidang sains sangat menyita waktu. Karena ada tambahan kegiatan praktikum. Alhasil, aku terbiasa membuat laporan praktikum.
Sedikit sedikit laporan.
Sedikit sedikit revisi.
Akhirnya aku juga terbiasa dengan tekanan deadline menulis. Walaupun jika menulis langsung di atas kertas. Banyak orang yang menghina tulisanku. Katanya seperti cekeremes (gorengan berbahan potongan pisang kecil-kecil). Ya, seburuk itu katanya tulisanku wkwk. Jadi, jika menulis di kertas aku nikmati untuk diriku sendiri. Sedangkan untuk berbagi, jelas aku lebih suka mengetiknya. Tugas perkuliahan seperti membuat makalah sudah menjadi makanan sehari-hari. Belum lagi, jika dalam pengerjaan tugas kelompok. Uh, aku membencinya
Teman-temanku sering menganggapku sebagai objek. Ya, hampir selalu aku yang mengerjakan tugas makalah bahkan PPT kelompok.
Tapi aku pun bersyukur. Karena sering mengerjakan tugas itulah, aku terbiasa membuat laporan. Mengerjakan esai, paper bahkan draft jurnal. "Dibalik kebencian ada kebahagiaan".
Selain berkuliah seperti biasa. Aku juga ikut organisasi. Dan entah alhamdulillah atau astaghfirullah nih. Aku dipercaya menjadi Sekretaris Direktur.
Tugas berat!
Aku jadi berurusan dengan berkas-berkas, surat-menyurat, proposal dan laporan kegiatan. Sepertinya memang takdir berkata bahwa aku harus berkutat dengan tulis-menulis.
Hmm.
Jadi, sebenarnya aku ingin sekali menjadi dokter. Tapi takdir berkata lain. Aku tidak punya privilege (asik membicarakan hal ini). Aku pun tanda kutip terpaksa kuliah dengan rasa tertekan dan penyesalan. Karena memang bukan di bidang yang aku inginkan. Singkatnya aku salah jurusan. Bahkan saat semester 8, saat pengerjaan tugas akhir, saat detik-detik menjelang kelulusan, aku masih menangisi jurusanku wkwk (jangan ditiru).
Aku tersadar.
Jika aku selalu menyesalinya, bukankah akan sia-sia bertahun-tahun kuliah?
Kata orang, kuliah itu waktunya mengeksplorasi diri. Dalam pikiranku pun ikut terdoktrin dengan kalimat itu. Aku membalas dendam. Dendam kepada diri-sendiri karena tidak bisa mewujudkan cita-cita menjadi dokter.
Caraku membalasnya dengan mengikuti berbagai kompetisi menulis. Dengan menulis, akhirnya aku mencintai bidang ilmuku. Dengan menulis aku dapat bonus jalan-jalan keliling Indonesia hihi.
Tenanglah, jangan menganggapku hanya untuk pamer.
Menulis tidak hanya untuk kompetisi tetapi juga untuk berkreasi. Ya, bagi sebagian orang, menulis hanya untuk diikutkan dalam ajang perlombaan. Namun bagiku dengan menulis, aku bisa mengembangkan kreativitas.
Aku bisa menuangkan ide-ide dalam goresan pena. Atau untuk mengekspresikan diri. Sebagai seseorang dari bagian 4% populasi manusia dengan sifat yang sama di dunia. Aku mungkin terlihat tidak ramah dan cenderung diam. Namun sebenarnya otakku terus berputar. Hingga aku cukup lelah dengan pikiran yang terus mengganggu ini.
Aku mungkin terlihat idealis, sama seperti para INFP-T yang lain. Sehingga dunia pun mungkin tidak menerimaku. Sehingga hanya dengan menulislah aku dapat berbicara. Berbicara melalui rangkaian kata. Apalagi ku tau, jika banyak orang yang hanya penasaran tetapi tidak peduli.
Ku menulis karena dunia tidak ingin mendengarkanku.
Menulis bukan hanya salah satu cara mengekspresikan jiwa.
Tetapi menulis menjadi sebuah peluang indah. Kesempatan memperoleh pundi-pundi rupiah.
Menulis tidak lagi sebatas hobi.
Ataupun menunjukkan eksistensi.
Namun, menulis telah menjadi identitas diri.
Mengeksplorasi visi dalam menulis bagaikan menjelajahi samudera.
Berenang, menyelam, menemukan mutiara.
Belajar, terjatuh, bangkit lagi dan berjaya.
Seperti kata tokoh sastra.
Menulislah engkau sebelum berkalang tanah.
Menulislah engkau agar dikenang jiwa.
Probolinggo, 9 Agustus 2020
Tentang Penulis:
Melynda adalah seorang Thalassophile asal Probolinggo. Ia tak ingin mengusik kehidupan orang lain. Dan ia pun tak ingin orang lain mengganggu hidupnya.
We always love you Melychuu 😁😁
ReplyDeleteGembel 😂
Delete