Oleh: Musyorafah
Tak ada yang tahu kapankah perjalanan kita berakhir di dunia ini. Aku menulis agar dapat terus memberi manfaat melalui tulisan. Meskipun raga ini kelak tak lagi di dunia, tulisan yang akan menjadi bukti bahwa aku pernah ada. Setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda-beda. Dengan menuliskan pengalaman serta ilmu yang dimiliki, akan ada hikmah yang dapat diambil dari kehidupan ini. Teruslah menuliskan hal-hal baik dari setiap fase kehidupan yang dilalui. Jika aku memiliki ide yang bermanfaat dari momen yang kulalui, aku segera menuliskannya.
Apalagi aku hanyalah manusia biasa yang memiliki sifat lupa. Dari tulisan aku akan mudah mengingat semuanya. Tulisan adalah pengingat terbaik setiap masa yang telah berlalu. Waktu terus berjalan tanpa dapat dihentikan. Terkadang kita lalai dalam memanfaatkan waktu yang ada. Walaupun kita tahu waktu itu tak akan pernah kembali. Menulis menjadi salah satu kegiatan produktif, agar waktu yang aku miliki lebih bermanfaat. Selain itu, menulis juga dapat melatih agar aku menjadi pribadi yang disiplin. Apalagi jika aku mengikuti sebuah event menulis yang memberikan deadline.
Deadline mengajarkan aku untuk memiliki target dalam mencapai sesuatu. Bukan hanya target menyelesaikan tulisan, namun juga target dalam mengejar mimpi-mimpiku. Aku pun belajar membagi waktu antara menulis dengan kegiatan lainnya. Semakin sering menulis, semakin banyak informasi yang dapat diberikan kepada orang lain. Aku menulis karena terinsiprasi dari beberapa tulisan yang mewarnai beranda media sosial. Orang-orang membagi pengalamannya melalui tulisan yang begitu apik. Walaupun aku masih memiliki pengalaman yang sedikit. Rasanya ingin juga membagikan pengalaman yang telah aku alami melalui tulisan.
Awalnya aku kebingungan pada saat ingin menulis, harus memulai darimana tulisan ini. Namun jika awal menulis niatnya adalah kebaikan, ide-ide akan datang dengan sendiri. Semua berawal dari terinspirasi, aku pun akhirnya berusaha agar dapat menginspirasi. Setiap orang dapat menulis, hanya saja tak semua orang berani mencoba untuk menuliskan pengalamannya. Mari mencoba untuk mulai menulis dan terus menginspirasi melalui ilmu dan pengalaman yang dimiliki.
Setiap kehidupan yang dijalani, akan ada rasa senang dan sedih. Perasaan itu silih berganti menjadi bumbu-bumbu kehidupan. Namun yang harus aku ingat, bahwa rasa itu harus diolah agar tak berlebihan. Ketika waktu senang, harus aku ingat akan ada masa sedih. Demikian pun juga dengan rasa sedih, tak dapat menyelimuti terus menerus. Seseorang dapat mengekspresikan perasaannya dalam bentuk apapun.
Jika orang mengekspresikan rasa dengan lisan, terkadang aku hanya dapat lewat tulisan. Apalagi lidah ini tak bertulang, saat marah yang ada hanya cercaan yang dapat melukai hati. Ekspresi rasa lewat tulisan, setidaknya sedikit dapat memberi pesan dan kesan. Lewat tulisan, aku dapat menemukan dan berbagi dengan orang-orang yang memiliki asa dan rasa yang sama.
Aku memiliki semakin banyak teman sejak menggeluti dunia kepenulisan. Berawal dari menulis antologi, aku mulai memiliki teman yang memiliki asa dan rasa yang sama. Tak pernah terbayang, aku dapat menulis bersama dengan penulis dari berbagai daerah di nusantara. Awalnya aku ada rasa tak percaya diri, karena sepertinya tulisan orang lain tampak begitu sempurna.
Namun aku mencoba berpikir positif, bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menitipkan nikmat-Nya kepadaku agar aku bermanfaat. Aku menulis terus menerus, jika aku memikirkan penilaian dunia saja. Mungkin menulis hanya akan membuatku lelah. Kujadikan menulis sebagai salah satu jalan mengungkapkan syukur atas titipan nikmat-Nya.
Dengan banyak menulis, aku harus semakin sering membaca. Seperti halnya teko, jika isinya hanya dikeluarkan terus, lama-kelamaan akan menjadi kosong. Namun sebaliknya jika teko hanya diisi terus tanpa dikeluarkan juga tak baik, akan seperti terus membaca tanpa menulis. Aku menulis agar dapat berbagi ilmu kepada yang lain. Tulisan yang dibagi dapat menghasilkan lagi ilmu baru, dari sebuah saran ataupun kritikan pembacanya.
Untuk terus memperbaharui isi dari tulisan, aku menerima segala kritikan dan saran. Selain itu juga membaca berbagai genre buku, agar imajinasi ini dapat terus berpetualang. Sebelum aku menulis, aku sering mencari inspirasi dari membaca. Ada banyak tulisan yang telah berlalu-lalang di mataku. Aku pilah dan pilih, lalu mencoba mengkolaborasikan dengan ide-ide yang ada.
Deretan buku sastra tertata rapi di rak. Setelah berkecimpung dalam dunia pendidikan, terkadang hanya melirik buku itu sejenak. Sembari mengingat memori saat menjadi mahasiswa. Aku yang dulunya rajin membaca buku sastra, apalagi saat detik-detik skripsi akan diselesaikan. Kini hampir delapan tahun aku hanya fokus pada buku-buku teori pendidikan yang baru terbeli. Hal itu karena keinginan menjadi pendidik telah terpatri di hati.
Ada perasaan bersalah saat mengabaikan buku sastra itu, hanya karena aku merasa tak lagi linear dengan profesiku sebagai pendidik. Apalagi hingga lulus kuliah, aku belum menghasilkan karya sastra. Aku terlalu terpesona dengan karya-karya penulis hebat. Tanpa berpikir langkah apa yang dapat kulakukan agar dapat mengikuti jejaknya.
Setelah proses wisuda di kampus, dibelakang namaku tersemat sebuah gelar sarjana sastra. Gelar ini sebuah kebanggaan, karena ada sosok orang tua yang telah berkorban waktu, materi demi gelar tersebut. Namun disisi lain, aku harus mempertanggung jawabkan gelar tersebut. Aku tak ingin gelar ini hanya untuk memanjangkan nama saja. Di dalam gelar itu ada tanggung jawab yang dititipkan padaku.
Kelak segala yang kumiliki akan di-hisab di akhirat. Aku akan mempertanggung jawabkan seluruh yang kumiliki di dunia termasuk buku-buku di rak, serta gelar yang tersemat di namaku. Aku kadang bertanya pada diriku, apakah segala titipan ini telah aku manfaatkan sebaik-baiknya di dunia. Mampukah aku kelak mempertanggung jawabkan semua yang dititipkan. Setidaknya menulis menjadi ikhtiar, agar gelar dan buku itu bermanfaat untuk orang-orang di sekitarku.
Saat masih kuliah, aku suka mencari lomba esai yang berhadiah uang tunai. Tulisan esai yang aku tulis masih berisi opini semata. Sehingga belum dapat dikategorikan karya sastra. Tak dapat dipungkiri, tujuanku menulis dulu agar memiliki kegiatan di waktu luang, serta menghasilkan pundi-pundi rupiah dari tulisan. Apalagi di kampus aku hanyalah mahasiswa reguler yang bergantung pada beasiswa.
Hingga suatu hari, aku menang dalam sebuah lomba esai yang berhadiah uang tunai. Begitu senangnya aku, hingga aku ingin mencoba lagi untuk menang demi uang. Ternyata tujuan yang salah membuatku tak menjiwai kegiatan menulis. Aku seolah hanya mendapatkan lelah dan kecewa, ketika tulisanku di tolak atau tidak menang. Namun kini aku luruskan niat dan mencoba menulis dari hati, agar sampai ke hati pembacanya. Semoga kelak aku pun dapat mendidik dari hati melalui tulisan.
Menulis dari hati, menjadikan aku haus akan ilmu kepenulisan. Berbagai akun dan hastag di Instagram aku ikuti. Saat pertama kali menulis rasanya malu, tetapi lama kelamaan menjadi candu. Apalagi berkat menulis, aku memiliki teman baru dari berbagai daerah dan negara. Kami saling menjadi penyemangat satu sama lain. Aku yang hanya anak rumahan, kini dapat berpetualang karena tulisan. Ternyata bukan yang diucapkan saja yang dapat menjadi doa. Aku yang selalu menuliskan harapan tentang keinginan menjelajah di berbagai tempat. Beberapa tahun kemudian akhirnya harapanku terwujud. Melalui tulisan aku mendapat kesempatan menjelajahi beberapa kota di pulau jawa, serta menginjakkan kaki di negeri sakura.
Makassar, 7 Agustus 2020
Tentang Penulis:
Musyorafah, Lahir di Ujung Pandang [Kota Makassar]. Alumni Sastra Jepang Universitas Hasanuddin. Keseharianku mengajar bahasa Jepang di Sekolah Islam Athirah Makassar. Aku menyukai bunga sakura dan momiji. Impianku menjadi seorang penulis profesional. Aku selalu bersemangat jika membahas tentang pengajaran dan kepenulisan. Mari saling mengenal melalui akun Instagram : musyorafah17
Hai kak, semoga kita selalu semangat untuk terus berkarya💪🔥
ReplyDeleteJangan lupa mampir ke tulisanku yaa😍
Keren
ReplyDeleteMantap kak... Keren beut..
ReplyDelete